Selasa, 19 Juli 2011

Sejarah Perkembangan Sosiologi

Perkembangan Sosiologi di Eropa
Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan, Anda mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari fllsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1.    terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2.    tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3.    perubahan di bidang sosial dan politik,
4.    perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther,
5.    meningkatnya individualisme,
6.    lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7.    berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya,
tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.

sumber:
wikipedia.com
sosiologi suatu pengantar: Soerjono Soekanto

Minggu, 17 Juli 2011

Aku Beriman, Maka Aku Bertanya

Buku berjudul Aku Bertanya, maka Aku Beriman ini merupakan bagian pertama dari buku ketiganya yang berjudul Losing My Religion: A Call for Help (2004), yang dalam versi Indonesia sengaja dibagi menjadi dua oleh Penerbitnya–Serambi–agar memudahkan pembacanya memahami pola pikirnya yang kontroversial seputar Islam, hadis, peran akal, patriarki, dan budaya masjid. 
Banyak orang berkeyakinan bahwa pertanyaan rasional hanya akan merongrong iman. Pertanyaan kritis pun kerap dijawab dengan kaku oleh para pemuka agama. Akibatnya, kegalauan iman terus bercokol di benak para penanya. Upaya mereka dalam menyelesaikan p ertentangan iman dan akal selalu terantuk kecenderungan kaum muslim untuk membakukan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Tak pelak, kelesuan beragama mendera para mualaf dan generasi muda muslim. Mereka inilah yang paling mengalami kesukaran merajut ikatan nyata dengan Islam di tengah budaya sekuler. 
Dalam buku ini, Jeffrey Lang menjelaskan mengapa ia menjadi seorang muslim. Ternyata, karena dia membaca Alquran, tentu Alquran yang memiliki terjemahannya. Apa yang menjadi pertanyaannya, terjawab tuntas setelah dia membaca lembar demi lembar Alquran tersebut. Berbagai gugatan dan kegelisahan akalnya terjawab secara menyakinkan dalam Alquran, seperti: seputar Islam, autentitas Alquran, sifat-sifat Allah, derita manusia, dan keadilan Allahm kenabian Muhammad saw, dan sebagainya. 
Buku ini sangat apa adanya, obyektif, dan ‘cukup kontroversial’. Jadi, butuh kelegowoan hati dan open mind dalam membacanya. Bagi Jeffrey Lang, pertanyaan rasional tidak akan merongrong iman. Justru, untuk menggapai iman sejati, dia menyarankan agar kita harus bisa membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan-keyakinan kita secara rasional. Jawaban-jawabannya Jeffrey Lang ini sangat logis dan tak terbantahkan, tapi juga membuat kita merenungi makna semua penuturan pengalaman-pengalaman spiritualnya.

Mencermati konflik politisi

Kehidupan sosial selalu dinamis, dimana dinamika sosial yang terjadi terus berubah dari zaman ke zaman. Dinamikan sosial yang terjadi yang ditengarai oleh adanya perubahan – perubahan sosial memunculkan berbagai konflik. Ya...konflik merupakan sebuah pertentyangan yang disesabkan oleh berbagai hal, dan menjadi bagian dari dinamisasi kehidupan. Konflik terkadang membuat tatanan lebih baik namun juga bisa mengakibatkan hal – hal yang tidak diinginkan.
Dalam dunia politik sangat rawan terjadi konflik. Karena pada prinsipnya politik adalah bagaimana memperoleh kekuasaan. Dalam sejarah tercacat beberapa konflik terjadi muali dari perang dunia I dan II, dan kemudian konflik antara blok AS dan blok Uni Sovyet. Banyak sebabnya mulai dari ideologi sampai pertarungan pengaruh.
Dewasa ini, di negeri ini sering kita lihat di media baik cetak maupun elektronik yaitu konflik yang terjadi di Internal partai politik tertentu, atau konflik terkait skandal bank century dll. Ini menjadi berita yang selalu muncul di TV. Mencengangkan memang melihat kelakuan para politisi yang sibuk berseteru dan tidak memikirkan rakyatnya. Apa yang menjadi penyebabnya??? Ya...sangat mengecewakan karena penyebabnya ternyata adalah UANG. Para politisi berseteru karena uang, karena krupsi, dan saling lempar kesalahan. Ini jelas menjadi cerminan bahwa politisi kita sudah buruk, korup, dan tidak lagi peduli dengan rakyat. Kasus Nazarudin yang diduga korupsi dana pembnagunan wisma atlet, kini menjadi perhatian karena membuat partainya yaitu Demokrat terjadi konflik antar anggotanya. Ini jelas hal yang sangat buruk, konflik yang terjadi ini jauh sekali dari kepentingan rakyat.
Berbeda dengan konflik sekarang ini, pada zaman kemerdekaan juga tidak terlepas dari konflik. Konflik yang terjadi misalnya antara Sekarno vs Natsir, Soekarno vs Sahrir, Tan Malaka vs Aidit semua itu dilatarbelakangi oleh ideologi, kepentingan yang prinsipil. Bikan karena uang.
Jadi bisa diakatakan, konflik yang terjadi mengalami penurunan kualitas. Kinflik yang terjadi sekarang tidak ideologis, tidak prinsipil, namun jelas karena faktor keserakahan semata. Dan kita patut prihatin dan muak dengan kelakuan para pelaku yang setiap hari nongol diberita televisi ataupun koran.

Kamis, 23 Juni 2011

Riwayat Leon Trotsky

Riwayat Leon Trotsky1879-1940
Lev Davidovitch Trotsky lahir tahun 1879. Saat itu gerakan buruh di Rusia belum timbul dan bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada kelas buruh sama sekaki. Kekaisaran Rusia masih terbelakang, tanpa demokrasi parlementer atau kebebasan pers. Namun pada akhir abad XIX Rusia mulai berubah secara dahsyat. Sistem kapitalis mulai berkembang, dan kelas-kelas baru timbul: kelas burjuis atau kapitalis dan kelas buruh industrial. Kelas buruh itu menjadi sangat militan dan terpengaruh oleh gerakan sosialis di Eropa barat. Aksi mogok menggoncang masyarakat Rusia, dan tahun 1905 terjadi pemberontakan revolusioner. Kaum buruh mendirikan lembaga tipe baru, yang disebut soviet (artinya dewan). Soviet yang muncul di ibukota St Petersburg merupakan majelis demokratik dengan wakil-wakil yang dipilih di setiap tempat kerja. Ketua sovietnya ialah Lev Trotsky. Saat itu Trotsky lebih terkenal daripada Lenin sendiri. Soviet tersebut dipatahkan oleh pemerintah, tetapi kemudian menjadi model untuk pemerintah Bolshevik tahun 1917. Peranan Trotsky dalam Revolusi pertama tahun 1905 sudah kita singgung. Sebenarnya Trotsky adalah tokoh terpenting dalam pemberontakan itu. Lenin sendiri belum 100% matang pendekatan politiknya. Sebelum tahun 1905 Lenin menganjurkan teori (yang diambil dari Kautsky) bahwa kesadaran revolusioner harus disuntikkan dari luar ke dalam kelas buruh oleh golongan intelektual. Baru tahun 1905 Lenin melihat segi spontan dari proses penyadaran kelas buruh, kemudian pemikirannya menjadi lebih kaya dan canggih. Setelah kebangkitan tahun 1905 dikalahkan, Trotsky harus keluar negeri dan bermukim di New York. Di kota itu dia menjadi editor dari sebuah harian sosialis. Baru bulan Mei tahun 1917 berhasil kembali ke Rusia. Dia melihat dengan segera bahwa partai Bolshevik merupakan satu-satunya organisasi revolusioner yang betul-betul mampu untuk merebut kekuasaan. Trotsky dan Lenin kedua-duanya adalah tokoh revolusioner terkemuka dalam revolusi tahun 1917, tetapi sebelum tahun itu mereka berbeda pendapat dalam dua hal yang sangat penting: (1) peranan partai revolusioner, (2) dinamika revolusi sosialis. Lenin berusaha mendirikan "partai pelopor", sedangkan Trotsky masih mendukung model sosial-demokrat. Dalam hal ini Lenin terbukti benar, dan itu diakui Trotsky sendiri pada tahun 1917. Trotsky masuk partai Bolshevik dan segera terpilih menjadi angota dari pimpinan. Namun Trotskylah yang menganalisis dinamika revolusi dengan lebih tepat. Lenin masih terpengaruh oleh gagasan tradisional sosial-demokrat bahwa Rusia, sebagai negeri yang masih sedang berkembang, harus melalui tahap kapitalis sebelum kaum buruh bisa menjalankan revolusi sosialis. Sedangkan Trotsky melihat bahwa Rusia sedang mengalami proses yang lebih kompleks. Sosialisme memang belum mungkin dalam satu negeri miskin itu, tetapi karena industri kapitalis sudah berkembang dan kelas buruh sudah muncul dan berlagak militan, kaum buruh toh bisa merebut kekusaan dan mulai menempuh jalan sosialis. Setelah itu, revolusi sosialis ini harus meluas ke negeri-negeri lain yang lebih kaya, terutama jerman, Kalau tidak meluas dan tetap terisolasi, revolusi itu akhirnya akan gagal. Ini yang disebut teori "revolusi permanen". Beberapa tahun sebelum Revolusi Oktober, Trotsky sering bergaul dan berdialog dengan aliran Menshevik, tetapi tahun 1917 dia mengakui bahwa kaum Menshevik sudah bukan revolusioner lagi. Trotsky sendiri mempunyai grup yang bernama "Organisasi Antar-Daerah" (Mezhraiontsi - Interdistrict Organisation) dengan beberapa tokoh intelektual penting seperti Lunacharsky. Namun anggota grup tersebut jumlahnya beberapa ratusan saja, sedangkan partai Lenin betul-betul mempunyai kader dan massa. Lenin mengundang Trotsky dan teman-temannya masuk partai Bolsehevik bahkan untuk menjadi pimpinan, tapi Trotsky ogah. Dia mentuntut agar kedua organisasi itu harus bersatu dengan mengambil nama baru. Ini jelas kurang realistis, dan hal itu lama-lama harus diakuinya juga. Akhirnya dia serta teman-temannya toh masuk partai Bolshevik secara formal pada bulan September. (Secara praktis mereka sudah tampil sebagai kader Bolsehvik sebelumnya). Dan Trotsky terpilih sebagai ketua soviet di ibukota. Sesudah revolusi Bolshevik bulan Oktober Trotsky menjadi menteri terpenting yang kedua dalam pemerintahan. Pemerintah tersebut sering dinamai "pemerintah Lenin-Trotsky". Peranannya bermacam-macam, namun yang paling penting adalah peranannya sebagai panglima Tentara Merah yang membela rezim Soviet, dalam perang sipil yang disebabkan perlawanan dari kaum burjuis dan pasukan asing yang masuk wilayah Soviet. Untuk bertahan dalam situasi segawat itu, Tentara Merah harus bersiasat dengan sangat pandai. Kebanyakan tentara bukan buruh melainkan petani, yang sebenarnya bukan sosialis. Selain itu Trotsky harus bergantung pada sejumlah opsir dan ahli militer burjuis. Dia sering dikecam oleh sekelompok Bolshevik yang agak cemburu melihat Trotsky begitu naik daun dalam rezim Soviet. "Oposisi Militer" ini sebetulnya merupakan salah-satu unsur yang kemudian mendukung Stalin dalam upayanya untuk menyisihkan Trotsky. Revolusi di Rusia memang terisolasi dan akhirnya gagal, namun dengan cara yang tak terduga. Kaum pemilik modal swasta tidak berhasil menghancurkan rezim soviet. Tetapi rezim itu mengalami degenerasi dari dalam. Setelah wafatnya Lenin, Stalin menjadi diktator dan menindas kaum buruh serta petani secara kejam. Trotsky melawan Stalin dan dia dideportasikan, kemudian harus hidup di Meksiko, dan akhirnya dibunuh oleh seorang intel Soviet. Partai-partai Komunis seperti PKI memfitnah Trotsky sebagai seorang "fasis"; tetapi rezim Stalinlah yang menandatangani persetujuan dengan Hitler tahun 1939. Sebelum meninggal dunia Trotsky mendirikan gerakan "trotskis" atau "Internasional Keempat". Aliran kami (yaitu Suara Sosialis dan aliran internasional International Socialist Tendency) berasal dari aliran trotskis tersebut. Kami tidak setuju dengan Trotsky dalam beberapa hal. Misalnya kami menganalisis bekas Uni Soviet sebagai sistem "kapitalisme negara", sedangkan Trotsky dan beberapa grup "trotskis" lainnya beranggapan, Uni Soviet itu mempunyai sifat-sifat tertentu yang lebih progresis dari kapitalisme dan yang mengarah ke sosialisme. Namun kami mengakui Trotsky sebagai seorang tokoh revolusioner penting sederajat dengan Marx, Lenin, Gramsci dan Rosa Luxemburg.

Sumber: Suara Sosialis

Rumah Kiri - Situs Kaum Kiri Indonesia

http://rumahkiri.net

Rabu, 15 Juni 2011

Ketika Ketidakjujuran Menjadi Kesepakatan Bersama

Kejujuran sejatinya adalah suatu sikap yang sangat mulia dan menjadi sebuah nilai yang amat luhur. Kajujuran menjadi nilai yang amat sangat dinajurkan bahkan dalam agama – agama ataupun kepercayaan yang ada, kejujuran menjadi bahan ajaran yang cukup vital. Kejujuran menjadikan manusia mempunyai sikap baik dan mencerminkan keluhuran sikap.
Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang amat sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran. sebelum terbentuknya Negara Indonesia yaitu pada zaman Nusantara, nenek moyang kita sudah menanamkan nilai kejujuran yang sampai sekarang terus dijunjung tinggi. Sehingga sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara nilai – nilai jiwa bangsa Indonesia dengan nilai kejujuran.
Dewasa ini, kejujuran ternyata mulai terancam. Nilai – nilai kejujuran yang dahulu dijunjung tingi bangsa Indonesia sekarang mulai pudar. Ketidakjujuran atau kebohongan mulai merajalela. Ketidakjujuran yang dulu sangat memalukan dan amat sangat dibenci sekarang seolah – olah bahkan nyatanya menjadi kesepakatan bersama. Orang sudah tidak malu lagi untuk berbuat tidak jujur. Banyak kita dengar dan lihat betapa ketidakjujuran merajalela dalam anggota dewan yang “tidak terhormat” disenayan. Banyak kasus korupsi, banyak mafia hukum, dan bahkan ada rekayasa kasus hukum. Ini menjadi sebuah hal yang sangat memperihatinkan. Bahkan yang terbaru adalah praktek kecurangan massal dalam Ujian Nasional yang dilakukan oleh sebuah SD di Surabaya yang akhirnya terbongkar. Yang membuat ngilu adalah sang pelapor kecurangan justru menjadi musuh bersama bagi keluarga sekolah tersebut. Ini mengindikasikan bahwa ketidakjujuran ternyata sudah mengakar dan bahkan menjadi sebuah kesepakatan bersama. dan ketika ada orang yang mau berbuat jujur justru dimusuhi bersama. Hal ini berarti ada yang salah dan aja yang berubah didalam masyarakat. Masyarakat kita ternyata sekarang semakin oportunis, semakin menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, sehingga mengabaikan nilai kejujuran.
Sekolah yang seharusnya menjadi garda terdepat yang mengajarkan kejujuran sekarang menjadi tempat sarang ketidakjujuran. Zaman yang mulai mengedepankan mengagungkan  materialisme ini membuat kejujuran terpinggirkan. Ketidakjujuran di sekolah banyak dimulai dari rekrutmen siswa yang kadang hanya melihat seberapa banyak uang yang bisa disumbangkan, kemudian praktek mencontek, sampai praktek kecurangan dalam Ujian Nasional yang semakin marak.
Ini sesungguhnya adalah sebuah masalah yang sangat besar. Ketika ketidakjujuran dianggap sebagai sebuah hal yang wajar dan menjadi kesepakatan bersama, maka ketidakadilan akan semakin marak juga. Ketika itu terjadi maka bangsa ini hanya tinggal menunggu waktu untuk terpuruk kembali.