Sabtu, 27 Maret 2010

Pluralisme Kajian Sosiologi Agama

Tulisan ini akan berangkat dari dua premis (1) Pluralisme bukan suatu aliran agama dan (2). Perbedaan itu rahmat. Pernyataan pertama mengandung arti bahwa pluralisme mencerminkan suatu kajian ilmu sosiologi-antropologi. Konsep pluralisme awalnya dikemukan oleh Christian Wolf dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia. Berikut ini beberapa pengertian pluralisme.
Pertama, menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.
Kedua, dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli,
masyarakat total, kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.
Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu agama tetapi menganut banyak agama

Sabtu, 20 Maret 2010

Sosiologi Peter L. Berger

Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger?

Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ’teori makna’ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger.

Ragam Aliran Teori Sosiologi
Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990). Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003).

Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial.

Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.


Sabtu, 13 Maret 2010

Memahami Fenomena Gerakan Sosial Masyarakat

A. Pendahuluan
Masyarakat dan gerakan sosial tentunya memiliki sebuah korelasi yang tidak bias terlepaskan. Bahwasanya gerakan sosial itu sendiri adalah bagian dari masyarakat serta dapat dikatakan adalah sebuah bentuk implementasi dari apa yang dipikirkan, dikonsepkan, dan mungkin beberapa akan coba disatukan oleh beberapa individu atau masyarakat, lalu diwujudkan melalui sebuah pergerakan apapun itu bentuknya yang bisa disebut sebuah gerakan sosial itu sendiri.
Rata Penuh
Banyak fenomena - fenomena gerakan massa yang terjadi akhir - akhir ini. Entah hal tersebut berbentuk politis, sosial, ekonomi, dan segala bentuk aspek kehidupan lainnya. Yang jelas sebuah gerakan massa atau gerakan sosial tentunya tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan sebuah kepentingan. Kebanyakan masyarakat tentunya memiliki alasan dasar mengapa bisa mengkonsepkan sesuatu dan diimplementasikan menjadi sebuah gerakan, tentunya ada sebab dan ada akibat, dalam artian hal ini, tentunya masyarakat pada khususnya dalam hal ini, melakukan sebuah pergerakan dikarenakan adanya sesuatu yang salah dari masyarakat itu sendiri, entah hal tersebut merugikan masyarakat banyak atau hanya segelintir individu - individu yang terlibat.

Di era saat ini hal yang dinamakan gerakan sosial tidak hanya identik dengan gerakan – gerakan yang bersifat frontal dan langsung. Demonstrasi, aksi – aksi damai, teatrikal, dan segala bentuk aksi lainnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat termasuk mahasiswa, memang hal tersebut pun bisa dikatakan menjadi sebuah gerakan sosial, namun di era saat ini kita juga tidak boleh lupa dengan berbagai macam media yang ada di masyarakat, kreatifitas individu – individu yang terus berkembang, dan sebagainya, dari sanalah timbul model – model lain yang bisa dinamakan gerakan sosial, entah bisa melewati jejaring sosial yang ada di dunia maya, ataupun hanya melalui kesadaran – kesadaran dari beberapa kelompok masyarakat dan bergerak untuk dapat menyelesaikan sebuah masalah, entah dalam hal ini bergerak secara sosial meminta bantuan di masyarakat sekitar, ataupun bisa secara politisi masyarakat bergerak menuntut ditegakkannya keadilan.

Apapun bentuk implementasi dari pemikiran dan perspektif masyarakat yang nantinya akan menjadi sebuah gerakan sosial yang apapun juga bentuk dari gerakan sosial itu sendiri, tentunya gerakan sosial terjadi dan dijalankan oleh masyarakat dikarenakan masyarakat ataupun individu merasa diperlakukan tidak adil entah oleh pihak manapun itu. Tentunya gerakan sosial bukanlah suatu hal yang negative selama hal tersebut memang berlandaskan terhadap azas kemanusiaan, selama esensi dasar dari terjadinya gerakan sosial itu sendir adalah bukan dari kepentingan manapun melainkan murni kemanusiaan.

Pada bagian berikut kita dapat melihat beberapa analisis kasus dari terjadinya gerakan sosial di masyarakat berdasarkan kasus ketidakadilan yang bersifat kemanusiaan juga.

B. Analisis Kasus
Sebuah kejadian luar biasa dalam jagad sejarah sosial politik ditorehkan dengan sangat jelas. Prita, seorang ibu rumah tangga yang menulis email tentang keluhannya atas pelayanan di RS Omni Internasional, dihukum dalam perkara perdata sebesar Rp 204 juta. Perkara pidana menyusul. Sontak, aksi publik terjadi, berupa pengumpulan koin. Segera saja koin demi koin mengalir kepada Prita. Dari seluruh penjuru kiriman koin dikirimkan. Dalam waktu 4 hari sejak dikumpulkan, uang yang terkumpul sudah mencapai kurang dari Rp 100 juta. Kini angka dukungan untuk disalurkan kepada Prita,sudah melebihi denda yangdibebankankepadanya.

Beberapa waktu yang lalu, kita juga menyaksikan aksi dukungan yang diberikan masyarakat secara simbolik kepada pimpinan KPK yang kala itu dinon-aktifkan dari jabatannya. Demi membela Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang diidentikkan sebagai institusi KPK, ribuan orang membangun jejaring dan hubungan yang meskiterpisah-pisah.

Di dunia maya orang bergabung segera ketika kedua pimpinan KPK non-aktif tersebut ditahan oleh Mabes Polri. Galangan dukungan kepada keduanya mengalir ribuan orang setiap harinya. Mereka yang tergabung ke dalam komunitas seni, membangun dukungan melalui mural dan aksi teatrikal. Mereka mengungkapkan penolakan mereka pada cara-cara pembungkaman KPK. Aksi gelaran parade dukungan terhadap Bibit-Chandra itu juga turut diisi oleh para tokoh di pentas nasional, sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi sejak tahun 1998. Tak kalah, ketika masih di penjara, ulang tahun “eyang Bibid” pun dirayakan oleh anak-anak kecil yang masih di duduk di bangku Taman Kanak-Kanak di Solo.

Gelaran aksi masyarakat tersebut memang sungguh sangat unik dan fenomenal. Unik karena tidak pernah kasus serupa terjadi dan memperoleh dukungan semasif itu. Untuk Prita saja, anak-anak kecil pun mengumpulkan koin untuknya, persis ketika sekelompok anak TK juga bernyanyi untuk Bibit Samad Rianto. Unik rasanya menyaksikan bagaimana aksi dukungan masyarakat ini bekerja. Semua dukungan terhadap Prita dan sebelumnya KPK mengalir begitu saja. Kepentingan semua yang terlibat cuma satu, yaitu bagaimana mendukung sosok yang dianggap menjadi korban dari sebuah perlakuan tidak adil. Prita dan KPK dianggap merepresentasikan kepentingan dan keinginan masyarakat. Tetapi ketika kemudian dizhalimi dengan cara-cara yang tidak fair, menurut pendapat masyarakat, maka saatnya masyarakat bergerak. Simbol gerakan sosial masyarakat tersebut adalah sebuah “teriakan” lantang menolak penguasa dan segala bentuk kekuasaannya yang mencoba memaksakan kehendaknya.
Gerakan sosial masyarakat memang hadir memecah kebuntuan. Kebuntuan dalam mekanisme proses sosial politik kita terjadi karena banyak pihak yang seharusnya membela Prita atau KPK, justru malah bersikap pasif dan berdiam diri. Secara umum, kita sudah tak punya lagi kaum oposan yang efektif, yang mampu menandingi kekuatan kebijakan pemerintah, serta memberikan kritik-kritik yang didengarkan. Merespon kasus Prita dan KPK, tak satupun parpol terdengar bicaranya. Mereka, parpol yang sebagian besar telah berkoalisi dengan pemerintah itu, dan yang notabene telah mengikat kontrak politik untuk mendukung kebijakan pemerintah, kelihatannya memang telah dibungkam oleh semangat yang sama dan sebangun dengan sikap kekuasaan, yaitu untuk menegakkan hukum teks apa adanya, meski dengan mengabaikan keadilan di masyarakat. Mereka yang harusnya menjadi saluran aspirasi masyarakat di parpol, nyatanya tak banyak berbicara bahkan tak lagi bisa diharap, termasuk di dalam kasus ini. Karena itu tidak heran masyarakat melangkah sendiri dan mengambil tindakan sendiri berupa gerakan sosial tadi.

Elemen yang seharusnya kritis juga telah pula dipaksa tutup mulut. Mereka adalah sebagian besar para cerdik cendekia plus ilmuwan yang harusnya menyatakan kebenaran keilmuan atas kasus-kasus ketidakadilan di masyarakat. Banyak ilmuwan dan ahli-ahli hukum kita hanya mematok diri pada kebenaran teks hukum semata, melupakan bahwa ada sesuatu yang mungkin terjadi di baliknya. Bahkan elemen ilmuwan hadir pula di lingkaran kekuasaan seolah memberikan kesegaran kepada kekuasaan untuk semakin rapi dalam membungkus argumentasi hukum terhadap siapapun termasuk Prita dan KPK. Para ilmuwan banyak yang telah menjadi tameng kekuasaan sehingga kekuasaan kini semakin minuskritik.

Masyarakat Kesepian Melihat hal di atas, masyarakat memang wajar merasa sepi. Masyarakat seolah ditinggalkan sendirian oleh aroma kekuasaan yang begitu kental terasa pada mereka yang harusnya berpihak kepada masyarakat. Karena itu, pantas kemudian ekspresi dukungan dan solidaritas mengalir begitu saja, tanpa ada yang mengendalikan, kepada Prita dan KPK. Untuk kasus Prita, satu orang saja dibutuhkan untuk meluncurkan ide mengumpulkan koin, dan untuk kasus KPK, satu orang saja juga dibutuhkan untuk membuat template dukungan melalui facebook. Segera setelah hal itu ada, maka mengalirlah ribuan bahkan jutaan dukungan.

Masyarakat yang ditinggalkan oleh para politisi dan elemen kritis itulah yang bergerak melintasi batas-batas, termasuk jarak, latar belakang dan usia. Satu-satunya yang sama adalah bahwa masyarakat sepakat untuk melawan sesuatu. Tua muda, kaya miskin, semuanya kemudian tumpah ruah, mengirimkan koin untuk Prita atau dukungan facebook kepada Bibit-Chandra.

Ini bukan masalah “menang-kalah”. Gerakan sosial masyarakat dalam kasus Prita dan KPK, bukan sebuah entitas yang tujuannya untuk menjatuhkan kekuasaan. Memang di masyarakat Eropa dan Amerika Latin, sejarah gerakan sosial bisa mengekskalasi menjadi revolusi. Tetapi di kita, belum mencapai tujuan demikian. Sebagaimana disampaikan sosiolog Imam B Prasodjo, gerakan sosial ini adalah simbol terhadap pemerintah dan penegak hukumnya supaya mereka tidak bertindak melampaui keadilan itu sendiri.

C. Kesimpulan
Kita mengingatkan pemerintah bahwa dua kejadian fenomenal ini hendaknya menjadi pembelajaran berharga. Gerakan sosial masyarakat yang terjadi secara spontan adalah modal politik yang sebenarnya begitu berharga. Gerakan sosial masyarakat ini adalah peringatan kepada pemerintah bahwa masyarakat butuh jalan lurus, bukan jalan berbelok dalam penegakan hukum, termasuk kepada rakyat kecil. Ini adalah peringatan bahwa pemerintah tidak hanya perlu berbicara soal keberpihakan pada masyarakat yang selalu saja didengung-dengungkan oleh pemerintah tetapi juga perlu memperlihatkan bukti yang nyata dan signifikan untuk tidak membela mereka yang tidak adil dan atau korup. Jika pemerintah tidak menjadikan ini sebagai pembelajaran, bukan tidak mungkin kisah gerakan sosial masyarakat ini terulang kembali, entah untuk tujuan apa, yang juga mungkin bisa melebar kepada persoalan lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Tulisan ini adalah tulisan teman saya di JMSJ
EDO EKARIZKY FISIP – SOSIOLOGI Universitas Nasional