Minggu, 19 Desember 2010

Antropologi cinta

Antropologi cinta, Istilah yang mengada-ada dan memang saya ada-adakan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang manusia dan kebudayaannya, sementara cinta adalah uraian perasaaan tentang kasih, sayang. Cinta mau tidak mau, suka tidak suka merupakan hal yang menarik dan indah untuk dimaknai. Setiap manusia punya cinta walaupun kadarnya berbeda-beda. Orang-orang seperti Hitler skalipun memiliki cinta.
Cinta tidak saja dimaknai dengan lawan jenis, namun kepada sesame jenis, sesame manusia dan cinta terhadap bangsa, Negara dll.

Cinta yang sekarang menjadi pusat perhatian adalah cinta terhadap sesama manusia khususnya terhadap lawan jenis. Adalah sebuah naluriah yang manusiawi bila seseorang memiliki cinta dan menjatuhkan cinta pada seseorang lain. Cinta menciptaan kedamaian, cinta membawa ketenangan, cinta membawa kegembiraan.
Namun apa yang terjadi dewasa ini, terkadang karena cinta seseorang bertengkar, saling membunuh, dll dan akhirnya cinta berubah menjadi suatu kebencian. Proses ini mau tidak mau dipengaruhi oleh proses budaya dengan berbgai perubahannya. Perubahan budaya ketimuran yang mulai dipengaruhi budaya barat, paham kesetaraan gender, dll juga mempengaruhi pemaknaan cinta. Masuknya budaya kapitalis dan konsumeris terkadang mempengaruhi cinta. Dahulu cinta dilakukan dengan ketulusan saling memberi, rela susah asal saling cinta, namun sekarang cinta juga membutuhkan uang. Uang akan mempengaruhi kadar cinta seseorang, sehingga ketika uang habis maka boleh jadi cinta juga menipis, karena proses untuk mengkonsumsi berkurang, inilah realita cinta dalam budaya konsumeris

Jumat, 17 Desember 2010

Sepakbola dan suaka kepentingan.

Saat ini rakyat Indonesia sedang mengalami euphoria yang luar biasa terhadap sepakbola. Penampilan yang menarik dan kemenangan demi kemenangan yang diraih Timnas sepakbola Indonesia mebuat masyarakat mendadak histeris terhadap sepakbola, tidak saja para pecinta bola yang memang dari awal sudah menyukai sepakbola. Namun sekarang ini yang tadinya kurang suka, mendadak menjadi ikut larut dalam sebuah hysteria yang luar biasa terhadap Timnas Indonesia.

Tak dipungkiri, sepakbola merupakan olahraga paling popular di dunia, banyak pihak memperhatikan dunia sepakbola. Histeria yang dilakukan oleh supporter Indonesia memang tidak bisa dipungkiri memunculkan decak kagum dan kefanatikannya terhadap Timnas. Maklum, sudah terlalu lama mungkin pecinta sepakbola di Indonesia tidak melihat tim kesayangannya tampil luar biasa. Praktis setelah pergelaran Piala Asia 2007. Inilah penampilan terbaik yang pernah ditunjukan oleh Timnas Garuda. Ada sebuah kerinduan yang amat dalam dari rakyat Indonesia terhadap prestasi bangsa ini. Antusiasme rakyat ini menunjukan kerinduan akan sesuatu yang bisa dibanggakan dari bangsa Indonesia.

Senin, 06 Desember 2010

Agama dalam Masyarakat Industri

Ada common sense mengenai masa depan agama dalam suatu masyarakat industrial, sebagaimana yang dicerminkan oleh percakapan sehari-hari bahwa industrialisasi dan modernisasi merupakan ancaman terhadap religiusitas. Meskipun penilaian itu sering disertai dengan banyak contoh kasus, namun tidak berarti ia mengandung kebenaran yang bersifat menyeluruh.

Memang benar bahwa bentuk-bentuk perubahan sosial yang menyertai proses industrialisasi telah memengaruhi secara negatif kehidupan keagamaan, misalnya dalam masyarakat industri, peranan pengelompokan sekunder semakin menggeser pengelompokkan primer. Adapun yang termasuk pengelompokkan sekunder ialah unit dan organisasi kerja atau produksi, sedangkan kelompok primer ialah keluarga, suku, agama, dan sebagainya. Sifat kelompok sekunder adalah gesellschaft, sedangkan yang primer adalah gemeinschaft. Dengan perkataan lain, formalitas, zaklijkheid dan rasionalitas semakin menggeser keakraban, kekeluargaan, dan afektivitas. Karena itu melalui berbagai sebab, peranan orangtua, khususnya ayah, sebagai agen sosialis anak, akan semakin berkurang untuk digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang lain, misalnya sekolah dan pergaulan. Hal ini tentu mempunyai pengaruh dalam bentuk pengenduran pola-pola religiusitas tertentu.

Tetapi, pergeseran religiusitas dalam masyarakat industrial terutama disebabkan oleh semakin dominannya peranan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun lainnya, adalah bentuk kesadaran seseorang tentang lingkungannya, baik yang jauh maupun yang dekat, serta pengetahuan atau penguasaannya atas masalah-masalah yang ada. Hal itu berarti paling tidak semakin sempitnya daerah kegaiban atau misteri, padahal tindakan keagamaan dilakukan karena pengakuan adanya kenyataan supraempiris atau gaib dan misteri.

Kamis, 04 November 2010

Belajar dari Mbah Marijan

       Sosok sederhana yang tidak mempunyai pendidikan yang tidak tinggi (hanya tamat SD), namun punya kharisma yang membuat banyak orang kagum. Ya,,, sosok mbah marijan kontan membuat masyarakat negeri ini terperanga dengan keteguhan hatinya sebagai juru kunci merapi. Mbah marijan adalah abdi dalem keratin Jogja yang menjadi juru kunci gunung merapi. Keteguhan hati serta kesetiaan dalam menjaga gunung merapi membuatnya dikenal luas.

Mbah Marijan kini telah tiada, meninggal dalam keteguhannya untuk menjaga gunung merapi yang meletus. Mbah Marijan meninggal akibat letusan Gunung Merapi. Meninggalnya mbah marijan membuat semua orang kaget dan bersedih. Namun meninggalnya mbah marijan memberikan pelajaran bagi kita, dimana mbah marijan seakan sedang mencontohkan kepada kita akan senuah keteguhan hati dan pendirian yang kuat akan suatu hal. Ia rela mati demi mengemban tugasnya sebagai juru kunci gunung merapi. Beliau juga memberikan contoh sebagai seorang pemimpin, dimana ia berani memperatruhkan nyawanya untuk menjaga masyarakat dari letusan gunung merapi. Inilah sosok pemimpin yang sesungguhnya ada di negeri ini, bukan pemimpin yang selalu dibelakang dan takut mengambil resiko dan takut berkorban.

Jumat, 22 Oktober 2010

Musik, Rambut, dan Pemberontakan (cultural studies)

ADA gejala menarik seiring tumbuh suburnya kelompok musik punk akhir-akhir ini. Agak prematur mungkin untuk menyebutnya, tetapi ada kecenderungan bahwa diterimanya kelompok musik punk semacam Superman Is Dead (SID) membuat atribut-atribut punk menjadi sesuatu yang tak lagi asing. Lihatlah, misalnya, pada penggunaan kalung rantai, gelang bergerigi tajam, atau atribut punk lainnya yang dipakai remaja. Sekali lagi, perlu dikaji lebih dalam hubungan sebab akibat popularitas punk dengan maraknya atribut ini. Namun dalam sejarah, mode — sebagai sesuatu yang mapan, memang berhubungan erat dengan simbol-simbol gerakan (atau ideologi bahkan) musik tertentu.Katakanlah rock n’roll tahun 1970-an, yang dilambangkan oleh kelompok semacam Beatles, Queen, Rolling Stone, dan seangkatannya. Identitas kelompok ini diwujudkan melalui rambut gondrong, celana ketat, jaket kulit, dan semacamnya. Reggae dengan rasta-nya bisa dikenali lewat baju pantai berwarna-warni, rambut panjang dan gimbal, serta kacamata pantai. Bob Marley kemudian menjadi semacam ikon kelompok ini. Atau musik R&B yang tergambarkan oleh mereka yang memakai baju dan celana gombrong serta kalung perak panjang.

Jumat, 08 Oktober 2010

Perjalanan Spiritual Tyson



Mike Tyson inilah ssosok manusia yang pernah menghebohkan dunia tinju kelas berat. Di usia yang masih sangat muda, ia berhasil mengalahkan lawan – lawanya dan menjadi pemegang rekor juara dunia termuda sepanjang sejarah. Bakat bertinjunya terlihat Saat ia bersekolah di Tryon School for Boys di Johnstown, New York, Mike Tyson aktif dalam klub tinju di sekolah tersebut. Di saat itulah bakat bertinjunya dikenali oleh Bobby Stewart yang beberapa bulan kemudian dilatih olehnya sebelum kemudian Bobby Stewart memperkenalkan bakat Mike Tyson dan menyerahkan pelatihannya kepada Constantine "Cus" D'Amato pada saat Mike Tyson berusia 15 tahun. Di bawah asuhan Cus D'Amato inilah bakat tinju Mike Tyson semakin matang dan mulai menunjukkan taringnya.
 

Tyson merupakan petinju yang luar biasa, dia pernah memegang rekor kemenangan KO tercepat yaitu 8 detik dan sejak saat itu Mike Tyson selalu berlangganan dengan meng-KO lawan-lawannya. Sekitar 19 pertarungan pertamanya dimenangkan KO dengan 12 di antaranya KO di ronde pertama. Salah satu rekor tercepat KO-nya yaitu saat menghajar Michael Spinks dengan waktu hanya 91 detik dalam pertandingan 27 Juni 1988. Inilah yang kemudian Tyson digelari sebagai Kid Dynamite dan Iron Mike.
Sehebat-hebatnya Superman toh ia pun punya kelemahan dengan batu Kryptonite, dan sekuat-kuatnya Hercules pun bisa ditaklukkan dengan wanita. Begitupun dengan Mike Tyson, dahsyatnya pukulan betonnya pada akhirnya menemui batasnya. Inilah daftar kekalahan yang dialami Mike Tyson dalam karir tinju profesionalnya:

Minggu, 03 Oktober 2010

NAMA TUHAN DI SEBUAH KUIS


SEBUAH kuis televisi memberi pertanyaan sebagai berikut: apakah si anu adalah menteri tertua dalam kabinet anu. Pertanyaan ini segera membingungkan peserta kuis. Mimik kebingungannya jelas sekali. Dalam kebingungan itulah dia menenteramkan diri dengan bacaan basmallah: bismillah, dengan nama Allah.

Jika diteruskan maksud si penjawab ini tentu akan bermakna sebagai berikut: dengan nama Allah, semoga jawaban saya ini benar. Jika diteruskan lagi, jawaban itu akan bertambah menjadi: dengan nama Allah, semoga jawaban saya ini benar, meski saya ngawur. Meski ngawur yang penting nama Allah sudah saya sebut.

Karena saya percaya, Allah Maha Pengasih dan Penyayang serta Maha Pemurah. Meski saya benar-benar tidak tahu karena saya tidak cukup ilmu untuk menebak umur pak menteri ini, apalagi mendata umur semua menteri dalam kabinet, maka sebaiknya saya serahkan urusan ini langsung kepada Allah yang Maha Tahu dan Maha Melihat. Untuk itulah nama Allah perlu saya bawa-bawa dalam kuis ini. Kuis berhadiah lagi! Begitu barangkali peta bawah sadar si penjawab.

Rabu, 29 September 2010

MEMERANGI KEMISKINAN DI PEDESAAN MELALUI PENDIDIKAN NON-FORMAL


TINJAUAN MENYELURUH MENGENAI PENDIDIKAN
 DI DAERAH PEDESAAN

Tiga faktor kritis : Pendidikan, Tanah dan Kesempatan Kerja
Penduduk pedesaan merupakan konsumen potensial bagi pendidikan  non formal, baik yang tinggal di lading, di desa maupun pada kota-kota pesat pedesaan. Menunjukkan bahwa 90% dari seluruh penduduk hidup di daerah pedesaan. Pada kebanyakan Negara-negara yang berkembang lebih dari 50% seluruh jumlah penduduk berusia dibawah 20 tahun. Sehingga memunjulkan akibat, maka angkatan kerja dewasa yang produksional kurang besar jumlahnya harus memikul beban yang lebih besar untuk mendidik dan menghidupi golongan yang berusia lebih muda serta mengasuh golongan orang-orang jompo serta penderita penyakit.
Dari hal di atas menunjukan dengan produksi pertanian, penggunaan tanah dan kesempatan kerja di pedesaan menjadi sebuah implikasinya. Bahwa masyarakat pedesaan membutuhkan input produksi yang banyak. Untuk itu membutuhkan pendidikan dalam hal mengolah ladang, bercocok tanam dan penggunaan teknologi. Dengan hal ini diharapkan intensifikasi usaha bercocok tanam dapat sedikit meringankan pengangguran semu di pedesaan. Namun ada pula masalah yang cukup sulit untuk dipecahkan, misalnya masalah pengangguran yang gawat dan semakin meningkat di daerah pedesaan. Karena pada umumnya pemusatan perhatian dari pemerintah pusat hanya pada masyarakat perkotaan saja. Sebagaian akibatnya menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial yang parah serta ketegangan politik yang memuncak. Dan akhirnya desa tidak menjdi perhatian yang serius oleh pemerintah

Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan

        Bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa (etnic group), golongan, agama dan kepercayaan. Masing-masing mempunyai nilai-nilai budaya sendiri yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sejak kecil, individu-individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya berupa konsepsi-konsepsi yang hidup dalam masyarakatnya. Dengan demikian, nialai-nilai itu telah lama mengakar dalam jiwa mereka sehingga sulit untuk diganti dalam waktu singkat.
        Dalam banyak kebudayaan etnic di Indonesia, terdapat nilai budaya yang terlalu berorientasi ke atasan, ke senior dan ke orang-orang yang berpangkat tinggi, yang selalu harus diminta restunya setiap akan memulai usaha atau suatu kegiatan. Nilai-nilai tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan mentalitas bangsa, seperti tumbuhnya sikap tidak percaya diri, menumbuhkan sikap ketergantungan yang besar, mematikan hasrat untuk berusaha secara mandiri dan menghambat tumbuhnya disiplin pribadi yang murni serta mematikan rasa bertanggung-jawab sendiri.
       Masa sesudah revolusi kemerdekaan Indonesia, kehidupan penuh dengan keragu-raguan, tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas sehingga tumbuhlah kelemahan-kelemahan mentalitas pada kebanyakan orang Indonesia, yaitu : (a) Mentalitas meremehkan mutu, yakni tidak memikirkan kualitas pekerjaan yang dihasilkan dan mutu barang atau jasa yang dikonsumsi; (b) Mentalitas suka menerabas, yakni bernafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa mau berjerih payah dari permulaan, selangkah demi selangkah; (c) sikap tidak percaya diri, ragu mengambil prakarsa dan bersikap pengekor; (d) Tidak berdisiplin murni; (e) Kurang bertanggungjawab sendiri, cenderung melempar tanggungjawabnya ke atasan atau membagi tanggungjawab kepada orang lain supaya tanggungjawab sendiri menjadi kecil.

Minggu, 05 September 2010

ZAKAT FITRAH ( Sebuah Analisis Teori Redistribusi)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
       Fenomena lebaran menjadi sebuah fenomena religius yang sangat dinanti – nanti oleh masyarakat terutama kaum muslim. Berbagai persiapan pun seakan membuat masyrakat sibuk menyiapkan keperluan lebaran. Berbagai kegiatan pun dilakukan untuk menyempurnakan puasanya sebelum merayakan Idul fitri. Salah satunya adalah kegiatan zakat fitrah yang menjadi kewajiban kaum muslim. Dimana menurut ajaran agama Islam zakat fitrah menjadi penyempurna setelah kaum muslim melaksanakan ibadah puasa dibulan Ramadhan.
       Zakat sendiri berasal dari kata zaka yang berarti tumbuh subur, makna yang lain adalah suci dari dosa sebagaimana tertulis dalam kitab suci umat Islam Al Quran. Sementara menurut Imam Rughib, zakat adalah harta yang diambil dari kaum kaya dan diberikan kepada kaum miskin. Menurut Amir Syarifudin zakat ialah sejumlah kadar harta tertentu yang diwajibkan Allah atas harta orang Islam yang digunakan bagi kepentingan ummat menurut yang ditentukan Allah.
Zakat sendiri ada dua macam yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Dalam hal ini kami akan menbahas tentang zakat fitrah. Dimana zakat fitrah sendiri diartikan makanan pokok yang diberikan pada akhir bulan Ramadhan sampai menjelang sholat ied sebesar 2,5 kg. Dimana penarikan zakat ini dilakukan oleh badan khusus yaitu amil, setelah itu dibagikan kepada masyarakat yang berhak menerima. Dimana dalam ajaran islam ada kategori orang yang berhak menerimanya yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim, sabilillah, dan musafir. Akan tetapi yang paling diutamakan adalah fakir dan miskin. Pemberian zakat ini dipercaya selain meningkatkan ekonomi masyarakat juga akan menambah kekayaan bagi mereka yang memberi zakat. Hal ini menunjukan adanya proses penyaluran atau dapat diistilahkan sebagai proses distribusi.

Jumat, 03 September 2010

FENOMENA MUDIK LEBARAN ( Suatu Kajian Sosiologi Ekonomi )


oleh
Malik Ridwan Fauzi
Sosiologi Antropologi UNNES 2006

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
            Sebulan kaum muslim melakukan ibadah puasa dibulan puasa. Setelah itu merayakan hari raya idul fitri atau orang Indonesia biasa menyebut hari lebaran. Hari lebaran merupakan suatu hari yang sangat dinanti – nanti oleh seluruh umat islam di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara dengan penganut agama islam terbesar di dunia, Indonesia menjadi negara yang sangat menanti – nantikan hari raya idul fitri.  Dimana secara agama islam idul fitri dimaknai sebagai hari kemenangan dimana umat islam telah menjalankan ibadah pausa sebulan penuh. Tak ayal, hari itu serasa sangat ditunggu-tunggu.
            Pada masyarakat Indonesia, beberapa hari menjelang hari lebaran terjadi fenomene yang sangat unik. Yaitu adanya tradisi mudik yang dilakukan masyarakat Indonesia. Mudik ini biasanya dilakukan oleh para perantau yang berasal dari kampung yang bekerja di kota – kota besar. Mereka melakukan tradisi mudik karena ingin merayakan hari raya idul fitri dikampung halamannya.
            Tradisi mudik mejadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang bahkan jutaan masyarakat indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan dan menjadi tradisi khas di Indonesia. Para perantau rela berdesak – desakan dan bahkan mengeluarkan banyak uang untuk melakukan tradisi mudik. Bahkan ada juga yang rela mempertaruhkan nyawanya hanya untuk dapat mudik kekampung halamannya dengan naik diatas kereta api atau bahkan mengendarai sepeda motor dengan jarak yang jauh.
            Sebegitu besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan mudik menjadikan tradisi ini menjadi tradisi yang fenomenal setiap tahunnya. Bahkan semakin lama tradisi ini melibatkan lebih banyak orang lagi. Dan sekarang menjadi fenomena sosial yang sangat menarik.

Minggu, 22 Agustus 2010

HUT RI DI BULAN RAMADHAN ( Menata kembali kehidupan berbangsa dan beragama )


Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke 65 yang di rayakan pada 17 Agustus 2010 merupakan momen yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada tanggal tersebut tahun 1945 bangsa Indonesia mendeklarasikan diri untuk merdeka.  Setelah berabad – abad lamanya di jajah oleh bagsa Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris secara bergantian akhirnya bangsa Indonesia melalui Soekarno – Hatta memproklamirkan kemerdekaannya. Merdeka dalam arti yang sesungguhnya dan ddalam arti yang seluas – luasnya yaitu merdeka dari penjajahan bangsa lain sekaligus merdekan dalam mengatur kehidupan bangsa Indonesia selanjutnya.

Selasa, 20 Juli 2010

KOK GINI YA....

Kok gini…
Melihat fenomena belakangan di negeri tercinta ini, ckup membuat hati ingin bertanya – tanya terus. “Ada apa ini???
Negeri yang kaya akan sumber daya ala mini justru banyak dirundung masalah dan kesulitan. Masalah korupsi masih belum tuntas, masalah century entah kemana baunya, masalah mafia hukum selalu bertele – tele. Apa jadinya negeri ini dengan masalah itu.
Namun belum tuntas semua maslah diatas, muncul lagi masalah yang pelik lagi. Kasus konversi minyak tanah ke gas LPG yang awalnya digembar-gemborkan akan membuat masyarakat lebih mudah, sekarang ternyata hal itu mendatangkan malapetaka. Sekarang banyak kasus terjadi tabung gas meledak, banyak korban yang berjatuhan yaitu masyarakat. Kontak hal ini seakan membuat masyarakat resah dengan masalah tersebut. Masyarakat menjadi takut menggunakan gas LPG lagi. “Ya jelas takut, hal itu bagaikan membawa bom ke rumah sendiri”. Hal itu saya katakan “terorisme gaya baru”. Jadi tidak usah menakut-nakuti masyarakat dengan terror bom dan berbagai ancaman, namun dengan meladaknya tabung gas LPG ini masyarakat seakan telah menyimpan teroris didalam rumah sendiri, jadi ketakutan itu akibat terror yang ada dalam rumah. Apa jadinya kalau dirumah ada teroris??? Takut seumur hidup. Ah… kasus…kasus…
Masalah lagi sekarang ini harga pangan semakin naik. Semua bahan pokok melambung tinggi harganya. Lah…ketika harga normal saja, masih banyak yang kesusahan, apalagi harga menjadi naik, apa yang terjadi?? Ya jelas, yang merasakan kesusahan juga semakin baik. Ironis sekali memang, dinegeri yang subur, kaya seperti ini masyarakat masih kesusahan dengan pangan. Apa yang kemudian dilakukan pemerintah melihat hal ini??? Rapat…rapat…dan rapat terus, kapan bertindaknya??? Apa memang Negara ini sudah jadi ekonomi pasar, yang semuanya diserahkan pada pasar??? Lha kalau begitu mana nilai pancasilanya??? Katanya Indonesia menganuat ekonomi pancasila??? Kalu iya harusnya mampu mengatur sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak kesusahan. Kalau hanya membuat rakyat tidak kesusahan pangan saja tidak bisa, apalagi menyejahterakan kehidupan bangsa. Ah…kok gini Indonesiaku.
Ada lagi…

Rabu, 02 Juni 2010

BUDAYA FEODALISME MENUMBUHKAN MENTAL MISKIN

Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakatyang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor – sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai – nilai budaya yang dinut leh masyarakat. salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa – apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan. Soluisnya adalah dengan menanamkan budaya egaliter dan demkrasi secara utuh. Dengan hal itu akan memberi kesempatan setiap individu untuk dapat berkreasi dan tidak selalu terbelenggu oleh perintah atasan. Keyword: Kemiskinan dan Feodalisme



Latar belakang

Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya masalah – masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi hantu yang terus membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang subur, tambang yang yang melimpah, serta berbagai hasil alam yang kaya menjadi kekuatan bangsa ini. Kekayaan yang dimiliki menjadi modal yang besar bagi bangsa ini untuk mencapai suatu kemakmuran dan kesejahteraan yang juga telah diamanahkan dalam UUD 1945. Berbagai hasil dari bumi Indonesia seharusnya menjadikan bangsa ini serta rakyat Indonesia menjadi kaya. Pengelolaan yang maksimal akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kaya dan terbebas dari kemiskinan.
Realitas yang ada pada bangsa ini ternyata tidak demikian. Bangsa ini justru menjadi bangsa yang tidak dapat keluar dari kemiskinan. Hal ini ditunjukan dengan masih banyaknya masyarakat yang berada dalam kemiskinan. Masyarakat Indonesia masih banyak yang kelaparan, tidak mendapat pendidikan, dan hidup dalam keterbatasan. Hal ini jelas menunjukan bahwa masyarakat mengalami suatu keadaan miskin

Sabtu, 24 April 2010

POLITIK SIMBOLISME ( Perilaku Politik Demosntran dalam Kajian Antropologi Politik )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses perpolitikan Indonesia mengalami suatu keadaan yang cukup dinamis. Dinamika politik begitu cepat berubah seiring dengan adanya kejadian – kejadian yang membuat para praktisi politik bahkan masyarakat memanas. Hal ini diakibatkan oleh adanya arus media yang secara terang – terangan membuka informasi kepada masyarakat mengenai jalannya perpolitikan di Indonesia.
Berbagai peristiwa beberapa waktu lalu seperti kebijakan pemerintah terkait bank Century menjadi suatu dinamika politik yang cukup menyita perhatian. Kebijakan mengenai Bailout Bank Century kontak menuai pro dan kontra. Ada kalangan yang menganggap bahwa bailout tersebut tepat namun banyak kalangan yang justru menganggap proses bailout Century salah dan ada unsure korupsi di dalamnya. Pihak – pihak yang kontra dengan bailout Century sangat banyak dan bahkan menuntuk masalah ini diselesaikan dengan meminta pihak – pihak yang terkait atas kebijakan bailout Century untuk bertanggungjawab. Namun proses yang diinginkan ternyata belum berjalan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. dari hal itu beberapa elemen masyarakat dan mahasiswa melakukan demonstrasi menuntuk kasus century diselesaikan dan pihak yang bertanggungjawab diadili.
Demonstrasi dilakukan sebagai sebuah tindakan untuk menyampaikan aspirasi dan dilakukan oleh kerumunan massa yang cukup besar serta biasanya dilakukan dengan orasi. Peristiwa demonstrasi yang dilakukan elemen mahasiswa ternyata tidak hanya sekedar menyuarakan aspirasi melalui orasi saja, namun para demonstaran juga melakukan tindakan – tindakan yang menyita perhatian antara lain membawa foto pejabat dengan diberi tanduk di kepala dan taring di mulutnya. Selain itu yang cukup menarik lagi adalah hadirnya sesosok kerbau yang dibawa para demonstran yang diberi tulisan “Si BuYa”. Hal ini bahkan menjadi suatu kontroversi yang berbuntuk panjang.
Dari hal itu, menjadi sesuatu hal yang menarik bila fenomena – fenomena politik tersebut dikaji dalam perspektif antropologi politik.

Sabtu, 27 Maret 2010

Pluralisme Kajian Sosiologi Agama

Tulisan ini akan berangkat dari dua premis (1) Pluralisme bukan suatu aliran agama dan (2). Perbedaan itu rahmat. Pernyataan pertama mengandung arti bahwa pluralisme mencerminkan suatu kajian ilmu sosiologi-antropologi. Konsep pluralisme awalnya dikemukan oleh Christian Wolf dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia. Berikut ini beberapa pengertian pluralisme.
Pertama, menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.
Kedua, dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli,
masyarakat total, kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.
Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu agama tetapi menganut banyak agama

Sabtu, 20 Maret 2010

Sosiologi Peter L. Berger

Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger?

Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ’teori makna’ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger.

Ragam Aliran Teori Sosiologi
Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990). Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003).

Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial.

Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.


Sabtu, 13 Maret 2010

Memahami Fenomena Gerakan Sosial Masyarakat

A. Pendahuluan
Masyarakat dan gerakan sosial tentunya memiliki sebuah korelasi yang tidak bias terlepaskan. Bahwasanya gerakan sosial itu sendiri adalah bagian dari masyarakat serta dapat dikatakan adalah sebuah bentuk implementasi dari apa yang dipikirkan, dikonsepkan, dan mungkin beberapa akan coba disatukan oleh beberapa individu atau masyarakat, lalu diwujudkan melalui sebuah pergerakan apapun itu bentuknya yang bisa disebut sebuah gerakan sosial itu sendiri.
Rata Penuh
Banyak fenomena - fenomena gerakan massa yang terjadi akhir - akhir ini. Entah hal tersebut berbentuk politis, sosial, ekonomi, dan segala bentuk aspek kehidupan lainnya. Yang jelas sebuah gerakan massa atau gerakan sosial tentunya tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan sebuah kepentingan. Kebanyakan masyarakat tentunya memiliki alasan dasar mengapa bisa mengkonsepkan sesuatu dan diimplementasikan menjadi sebuah gerakan, tentunya ada sebab dan ada akibat, dalam artian hal ini, tentunya masyarakat pada khususnya dalam hal ini, melakukan sebuah pergerakan dikarenakan adanya sesuatu yang salah dari masyarakat itu sendiri, entah hal tersebut merugikan masyarakat banyak atau hanya segelintir individu - individu yang terlibat.

Di era saat ini hal yang dinamakan gerakan sosial tidak hanya identik dengan gerakan – gerakan yang bersifat frontal dan langsung. Demonstrasi, aksi – aksi damai, teatrikal, dan segala bentuk aksi lainnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat termasuk mahasiswa, memang hal tersebut pun bisa dikatakan menjadi sebuah gerakan sosial, namun di era saat ini kita juga tidak boleh lupa dengan berbagai macam media yang ada di masyarakat, kreatifitas individu – individu yang terus berkembang, dan sebagainya, dari sanalah timbul model – model lain yang bisa dinamakan gerakan sosial, entah bisa melewati jejaring sosial yang ada di dunia maya, ataupun hanya melalui kesadaran – kesadaran dari beberapa kelompok masyarakat dan bergerak untuk dapat menyelesaikan sebuah masalah, entah dalam hal ini bergerak secara sosial meminta bantuan di masyarakat sekitar, ataupun bisa secara politisi masyarakat bergerak menuntut ditegakkannya keadilan.

Apapun bentuk implementasi dari pemikiran dan perspektif masyarakat yang nantinya akan menjadi sebuah gerakan sosial yang apapun juga bentuk dari gerakan sosial itu sendiri, tentunya gerakan sosial terjadi dan dijalankan oleh masyarakat dikarenakan masyarakat ataupun individu merasa diperlakukan tidak adil entah oleh pihak manapun itu. Tentunya gerakan sosial bukanlah suatu hal yang negative selama hal tersebut memang berlandaskan terhadap azas kemanusiaan, selama esensi dasar dari terjadinya gerakan sosial itu sendir adalah bukan dari kepentingan manapun melainkan murni kemanusiaan.

Pada bagian berikut kita dapat melihat beberapa analisis kasus dari terjadinya gerakan sosial di masyarakat berdasarkan kasus ketidakadilan yang bersifat kemanusiaan juga.

B. Analisis Kasus
Sebuah kejadian luar biasa dalam jagad sejarah sosial politik ditorehkan dengan sangat jelas. Prita, seorang ibu rumah tangga yang menulis email tentang keluhannya atas pelayanan di RS Omni Internasional, dihukum dalam perkara perdata sebesar Rp 204 juta. Perkara pidana menyusul. Sontak, aksi publik terjadi, berupa pengumpulan koin. Segera saja koin demi koin mengalir kepada Prita. Dari seluruh penjuru kiriman koin dikirimkan. Dalam waktu 4 hari sejak dikumpulkan, uang yang terkumpul sudah mencapai kurang dari Rp 100 juta. Kini angka dukungan untuk disalurkan kepada Prita,sudah melebihi denda yangdibebankankepadanya.

Beberapa waktu yang lalu, kita juga menyaksikan aksi dukungan yang diberikan masyarakat secara simbolik kepada pimpinan KPK yang kala itu dinon-aktifkan dari jabatannya. Demi membela Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang diidentikkan sebagai institusi KPK, ribuan orang membangun jejaring dan hubungan yang meskiterpisah-pisah.

Di dunia maya orang bergabung segera ketika kedua pimpinan KPK non-aktif tersebut ditahan oleh Mabes Polri. Galangan dukungan kepada keduanya mengalir ribuan orang setiap harinya. Mereka yang tergabung ke dalam komunitas seni, membangun dukungan melalui mural dan aksi teatrikal. Mereka mengungkapkan penolakan mereka pada cara-cara pembungkaman KPK. Aksi gelaran parade dukungan terhadap Bibit-Chandra itu juga turut diisi oleh para tokoh di pentas nasional, sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi sejak tahun 1998. Tak kalah, ketika masih di penjara, ulang tahun “eyang Bibid” pun dirayakan oleh anak-anak kecil yang masih di duduk di bangku Taman Kanak-Kanak di Solo.

Gelaran aksi masyarakat tersebut memang sungguh sangat unik dan fenomenal. Unik karena tidak pernah kasus serupa terjadi dan memperoleh dukungan semasif itu. Untuk Prita saja, anak-anak kecil pun mengumpulkan koin untuknya, persis ketika sekelompok anak TK juga bernyanyi untuk Bibit Samad Rianto. Unik rasanya menyaksikan bagaimana aksi dukungan masyarakat ini bekerja. Semua dukungan terhadap Prita dan sebelumnya KPK mengalir begitu saja. Kepentingan semua yang terlibat cuma satu, yaitu bagaimana mendukung sosok yang dianggap menjadi korban dari sebuah perlakuan tidak adil. Prita dan KPK dianggap merepresentasikan kepentingan dan keinginan masyarakat. Tetapi ketika kemudian dizhalimi dengan cara-cara yang tidak fair, menurut pendapat masyarakat, maka saatnya masyarakat bergerak. Simbol gerakan sosial masyarakat tersebut adalah sebuah “teriakan” lantang menolak penguasa dan segala bentuk kekuasaannya yang mencoba memaksakan kehendaknya.
Gerakan sosial masyarakat memang hadir memecah kebuntuan. Kebuntuan dalam mekanisme proses sosial politik kita terjadi karena banyak pihak yang seharusnya membela Prita atau KPK, justru malah bersikap pasif dan berdiam diri. Secara umum, kita sudah tak punya lagi kaum oposan yang efektif, yang mampu menandingi kekuatan kebijakan pemerintah, serta memberikan kritik-kritik yang didengarkan. Merespon kasus Prita dan KPK, tak satupun parpol terdengar bicaranya. Mereka, parpol yang sebagian besar telah berkoalisi dengan pemerintah itu, dan yang notabene telah mengikat kontrak politik untuk mendukung kebijakan pemerintah, kelihatannya memang telah dibungkam oleh semangat yang sama dan sebangun dengan sikap kekuasaan, yaitu untuk menegakkan hukum teks apa adanya, meski dengan mengabaikan keadilan di masyarakat. Mereka yang harusnya menjadi saluran aspirasi masyarakat di parpol, nyatanya tak banyak berbicara bahkan tak lagi bisa diharap, termasuk di dalam kasus ini. Karena itu tidak heran masyarakat melangkah sendiri dan mengambil tindakan sendiri berupa gerakan sosial tadi.

Elemen yang seharusnya kritis juga telah pula dipaksa tutup mulut. Mereka adalah sebagian besar para cerdik cendekia plus ilmuwan yang harusnya menyatakan kebenaran keilmuan atas kasus-kasus ketidakadilan di masyarakat. Banyak ilmuwan dan ahli-ahli hukum kita hanya mematok diri pada kebenaran teks hukum semata, melupakan bahwa ada sesuatu yang mungkin terjadi di baliknya. Bahkan elemen ilmuwan hadir pula di lingkaran kekuasaan seolah memberikan kesegaran kepada kekuasaan untuk semakin rapi dalam membungkus argumentasi hukum terhadap siapapun termasuk Prita dan KPK. Para ilmuwan banyak yang telah menjadi tameng kekuasaan sehingga kekuasaan kini semakin minuskritik.

Masyarakat Kesepian Melihat hal di atas, masyarakat memang wajar merasa sepi. Masyarakat seolah ditinggalkan sendirian oleh aroma kekuasaan yang begitu kental terasa pada mereka yang harusnya berpihak kepada masyarakat. Karena itu, pantas kemudian ekspresi dukungan dan solidaritas mengalir begitu saja, tanpa ada yang mengendalikan, kepada Prita dan KPK. Untuk kasus Prita, satu orang saja dibutuhkan untuk meluncurkan ide mengumpulkan koin, dan untuk kasus KPK, satu orang saja juga dibutuhkan untuk membuat template dukungan melalui facebook. Segera setelah hal itu ada, maka mengalirlah ribuan bahkan jutaan dukungan.

Masyarakat yang ditinggalkan oleh para politisi dan elemen kritis itulah yang bergerak melintasi batas-batas, termasuk jarak, latar belakang dan usia. Satu-satunya yang sama adalah bahwa masyarakat sepakat untuk melawan sesuatu. Tua muda, kaya miskin, semuanya kemudian tumpah ruah, mengirimkan koin untuk Prita atau dukungan facebook kepada Bibit-Chandra.

Ini bukan masalah “menang-kalah”. Gerakan sosial masyarakat dalam kasus Prita dan KPK, bukan sebuah entitas yang tujuannya untuk menjatuhkan kekuasaan. Memang di masyarakat Eropa dan Amerika Latin, sejarah gerakan sosial bisa mengekskalasi menjadi revolusi. Tetapi di kita, belum mencapai tujuan demikian. Sebagaimana disampaikan sosiolog Imam B Prasodjo, gerakan sosial ini adalah simbol terhadap pemerintah dan penegak hukumnya supaya mereka tidak bertindak melampaui keadilan itu sendiri.

C. Kesimpulan
Kita mengingatkan pemerintah bahwa dua kejadian fenomenal ini hendaknya menjadi pembelajaran berharga. Gerakan sosial masyarakat yang terjadi secara spontan adalah modal politik yang sebenarnya begitu berharga. Gerakan sosial masyarakat ini adalah peringatan kepada pemerintah bahwa masyarakat butuh jalan lurus, bukan jalan berbelok dalam penegakan hukum, termasuk kepada rakyat kecil. Ini adalah peringatan bahwa pemerintah tidak hanya perlu berbicara soal keberpihakan pada masyarakat yang selalu saja didengung-dengungkan oleh pemerintah tetapi juga perlu memperlihatkan bukti yang nyata dan signifikan untuk tidak membela mereka yang tidak adil dan atau korup. Jika pemerintah tidak menjadikan ini sebagai pembelajaran, bukan tidak mungkin kisah gerakan sosial masyarakat ini terulang kembali, entah untuk tujuan apa, yang juga mungkin bisa melebar kepada persoalan lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Tulisan ini adalah tulisan teman saya di JMSJ
EDO EKARIZKY FISIP – SOSIOLOGI Universitas Nasional

Sabtu, 27 Februari 2010

Sosiologi Agama Durkheim


Definisi Agama Menurut Durkheim
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

Sifat Kudus Dari Agama
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

Moralitas Individual Modern
Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.
Sumber Acuan:

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986

Senin, 22 Februari 2010

Trikotomi Geertz yang Monumental

Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.

Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan local, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi..bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri. Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.

Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa “biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar “terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.

Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i.

Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).

Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.

Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.

Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.

Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.

Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.

Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.

Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.

Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.

Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit.

Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.

Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan:
  1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
  2. sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
  3. faktor yang mempertajam konflik:
  • konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
  • Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
  • Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
  • Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
  • Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
  • Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya “kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok tipe campuran timbul, yang bias memanikan perantara.
  • Toleransi umum yang didasrkan atas suatu relatifisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil misionisasi.
  • Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.

Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.

Penutup

Membaca laporan Geertz nampak adanya pertautan yang kuat antar setiap varian. Mungkin hal ini terkait kompleksitas individu dalam kelompok dan tidak adanya komunitas yang benar-benar terpisah yang mewakili varian itu. Ditemukan misalnya orang abangan yang santri, begitu juga santri yang priyayi dan abangan yang priyayi, juga misalnya ada dukun abangan, dukun priyayi. Kemampuannya mengungkap secara detail objek yang dikaji, di samping orisilitas temuannya menjadikan kekuatan laporan penelitian Geertz ini. Di tangan dialah teori trikotominya bermula.
(Telaah dari buku "Religion of Java" karya Cliford Geertz)