Minggu, 31 Juli 2011

Marhaban ya Ramadhan


Ketika anda lewat di sebuah jalan anda akan melihat sebuah spanduk bertuliaskan Marhaban Ramadhan, di televisi, radio, dan ditempat – tempat lainnya juga terlihat ucapan dan tulisan demikian. Ini menandakan datangnya bulan Ramadhan, bulan yang dianggap suci oleh umat Islam. Bulan ini dipercaya sebagai bulan yang mulia dan penuh barokah sehingga umat Islam berupaya menjalankan ibadah dengan semaksimal mungkin. Di bulan Ramadhan umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah – ibadah lain termasuk ibadah yang bersifat horisontal ( sesama manusia ).
Bulan Ramadhan menjadi momentum penting bagi umat Islam bahkan untuk bangsa Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri, mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Islam sehingga bulan ramadhan menjadi bulan yang cukup mendapat perhatian lebih. Bulan ramadhan selalu dijadikan sebagi sebuah momen untuk menjadi manusia yang lebih baik. Hal ini dikarenakan di bulan ramadhan, umat Islam di anjurkan untuk menahan segala hawa nafsu baik makan, minum serta nafsu – nafsu lain termasuk didalamnya korupsi. Jadi selain menjadi momentum baik untuk umat Islam, bulan Ramadhan juga menjadi momen baik bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Bangsa ini harus bisa memanfaatkan bulan ramadhan sebagai bulan untuk nersih – bersih dari korupsi yang menjadi kejahatan paling berbahaya di negeri ini.
Selain itu bangsa ini serta umat Islam khususnya bisa memperbaiki kehidupa keberagaman di negeri ini. Peristiwa yang pernah mencoreng kerukunan hidup beragama harus segera dihilangkan sebagai wujud pengendalian hawa nafsu. Kehidupa yang penuh toleran juga harus lebih baik lagi. Kita tidak mau lagi ada kekerasan di bulan suci ini. Yang tidak berpuasa harus bisa menghormati yang berpuasa, dan yang penting lagi yang puasa juga harus bisa menghargai yang tidak berpuasa.
Itulah sejatinya bulan Ramadhan, selain memaksimalkan ibadah vertikal antara invidu dengan Tuhan, namun juga memaksimalkan ibadah horisontal (ibadah sosial) dengan sesama manusia.
Akhirnya saya ucapkan selamat datang bulan suci, Marhaban ya Ramadhan. Semoga yang menjalankan mendapat kemudahan, dan yang tidak menjalankan ikut mendapat kebahagiaan atau paling tidak yang tidak menjalankan tidak merasa terganggu dengan blan Ramadhan.

Selasa, 26 Juli 2011

Dosa-dosa Media Amerika


"Tidak boleh berhenti mencari kebenaran sejati. Karena kebenaran semu hanyalah argumen hipotesis yang dilontarkan para pemegang kekuasaan. Jangan takut menilai dan jangan berhenti bertanya," begitu pesan Pemimpin Redaksi RCTI, Arief Suditomo. 
"Ada lima kebohongan media.
 Pertama, membesarkan atau mengecilkan data. Peristiwa ada, cuma disajikan besar dan kecil sesuai maunya media. Kedua, memberitakan yang tak pernah ada. Ketiga, tidak memberitakan apa sebenarnya terjadi. Good news bagi media selalu memilih bad news. Empat, mengelabui agenda publik dengan membombardir agenda media.Lima, meyakinkan publik bahwa mereka sedang tidak berbohong. Pesan saya, jangan sudi dibohongi lagi," pesan Pakar Komunikasi, Effendi 
Gazali.?Dua pesan di atas terdapat dari pengantar buku ini. Pertama dari praktisi media, kedua pakar komunikasi. Keduanya punya apresiasi yang cukup berwarna terhadap buku yang ditulis Jerry D Gray ini. Benar pesan mereka. Sejak kebebasan pers di negeri ini buncah dari rahim reformasi, pers tumbuh bak cendawan di musim hujan. Simaklah program berita dan dialog di televisi, setiap hari kita disuguhkan dengan sangat terpaksa harus kita tonton dimana channel dipencet ibu jari.

Ada jurnalisme yang tak jelas "kelaminnya", karena yang dikejar hanyalah publik figur dan kehidupan pribadi tokoh semata. Kita tak tahu apa sebenarnya di balik berita dan narasi yang terkesan dipaksakan itu. Jangan-jangan rekayasa demi mendongkrak popularitas dan pendekatan publik relation paling mutakhir saja. ?Kali lain, darah dan air mata. Peluru dan penjahat setiap hari menjadi berita. Kita tak tahu ada rekayasa apa dari gambar-gambar yang selalu bisa menjelaskan kaki penjahat ditembak. Jitunya tembakan, sehingga yang tertembak selalu bagian kaki dan otot belakang betis. ?Setidaknya begitulah yang harus dikritisi pada media hari ini. Termasuk media cetak. Keingintahuan apa sebenarnya terjadi dalam proses beritadisiarkan,dituliskan, harus pula menjadi bagian informasi yang diketahui. Oleh karenanya pesan dua tokoh pada awal resensi ini menjadi amat tepat untuk diarifi. Seperti dikatakan, menyampaikan kebenaran dalam sebuah berita sering terkendala seribu satu faktor.

Buku yang ditulis Jerry D Gray ini membuka cakrawala kita tentang fakta tersembunyi kejahatan media barat pada saat ini.

Sabtu, 23 Juli 2011

Selain pornografi, kekerasan, dan mistis; berita politik juga berbahaya bagi anak

Beberapa waktu yang lalu entah lalunya berapa lama, kita disuguhkan dengan adanya perdebatan terkait dengan bahaya tayangan pornografi, kekerasan, serta hal – hal yang berbau mistis. Ketga hal itu memang menjadi hal yang sering ditampilkan dalam media televisi kita. Hal itu dianggap berbahaya karena dapat merusak perkembangan anak serta pola pikir masyarakat. Dan hal yang paling normatif yang diutarakan adalah pornografi, kekerasan, serta tayangan berbau mistis merusak moralitas masyarakat terutama apabila ditonton oleh anak – anak. Benar sekali memang, pornografi jelas tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan adab ketimuran yang dianut oleh bangsa kita, disamping itu tayangan pornografi bila ditonton anak kecil akan merusak pola pikiran anak. Kekerasan juga demikian bahaya bagi anak-anak. Tayangan kekerasan yang ditampilkan di televisi bila ditonton anak akan berdampak pada peniruan terhadap adegan – adegan kekerasan tersebut. Sudah banyak peristiwa dimana anak-anak mempraktekan adegan kekerasan terhadap teman bermainya yang mengakibatkan kecelakaan luka maupun kematian. Demikian pula dengan tayangan mistis akan berakibat merusak pola pikir rasional masyarakat dan bahkan para tokoh agama khawatir akan membawa masyarakat menjadi musrik.
Ternyata tidak hanya tiga hal itu yang berbahaya bagi perkembangan anak bila ditonton. Apakah hal itu??? Ya, Berita politik yang secara masif ditayangkan di televisi saya pikir juga berbahaya. Baru – baru ini berita terkait perpolitikan semisal yang paling hangat kasus Nazarudin dengan Anas, hampir tidap pagi, siang, sore, malam selalu menjadi berita. Ini jelas berbahaya bila ditonton oleh anak – anak. Bagaimana berbahaya? Ya, kita dipertontonkan sandiwara politik, konflik politik, perseteruan yang tidak jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Berita anas vs nazarudin misalnya itu menyajikan bagaimana hubungan persahabatan hancur seketika gara- gara uang. Ini pelajaran yang tidak baik tentang ketidak setiakawanan. Selain itu kebohongan atau ketidakjujuran menjadi hal yang sering kita lihat dan diperlihatkan dimedia televisi kita.
Apa jadinya jika tayangan ini ditonton anak, kemudian menelan mentah – mentah?? Jelas sangat berbahaya. Nilai ketidaksetiakawanan, kebohongan/ketidakjujuran akan merasuki generasi muda kita jikalau tayangan politk yang maha amburadul ini dipertontonkan kepada anak secara masif. Media serta para politikus kita yang seharusnya menyajikan serta memberi pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat ternyata menyuguhkan perpolitikan yang busuk, korup, serta dibumbui dengan perseteruan dan kepentingan rating. Sungguh disayangkan...
Itulah bahayanya tayangan berita perpolitikan dinegeri kita bagi perkembangan anak. Jadi jikalau anda sudah muak dengan tayangan – tayang politik kita. Hindarkan anak – anak ketika anda sedang menonton sandiwara politik di televisi kita.
Matikan TV sekarang juga, selamatkan perkembangan anak!!!

Selasa, 19 Juli 2011

Sejarah Perkembangan Sosiologi

Perkembangan Sosiologi di Eropa
Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan, Anda mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari fllsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1.    terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2.    tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3.    perubahan di bidang sosial dan politik,
4.    perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther,
5.    meningkatnya individualisme,
6.    lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7.    berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya,
tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.

sumber:
wikipedia.com
sosiologi suatu pengantar: Soerjono Soekanto

Minggu, 17 Juli 2011

Aku Beriman, Maka Aku Bertanya

Buku berjudul Aku Bertanya, maka Aku Beriman ini merupakan bagian pertama dari buku ketiganya yang berjudul Losing My Religion: A Call for Help (2004), yang dalam versi Indonesia sengaja dibagi menjadi dua oleh Penerbitnya–Serambi–agar memudahkan pembacanya memahami pola pikirnya yang kontroversial seputar Islam, hadis, peran akal, patriarki, dan budaya masjid. 
Banyak orang berkeyakinan bahwa pertanyaan rasional hanya akan merongrong iman. Pertanyaan kritis pun kerap dijawab dengan kaku oleh para pemuka agama. Akibatnya, kegalauan iman terus bercokol di benak para penanya. Upaya mereka dalam menyelesaikan p ertentangan iman dan akal selalu terantuk kecenderungan kaum muslim untuk membakukan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Tak pelak, kelesuan beragama mendera para mualaf dan generasi muda muslim. Mereka inilah yang paling mengalami kesukaran merajut ikatan nyata dengan Islam di tengah budaya sekuler. 
Dalam buku ini, Jeffrey Lang menjelaskan mengapa ia menjadi seorang muslim. Ternyata, karena dia membaca Alquran, tentu Alquran yang memiliki terjemahannya. Apa yang menjadi pertanyaannya, terjawab tuntas setelah dia membaca lembar demi lembar Alquran tersebut. Berbagai gugatan dan kegelisahan akalnya terjawab secara menyakinkan dalam Alquran, seperti: seputar Islam, autentitas Alquran, sifat-sifat Allah, derita manusia, dan keadilan Allahm kenabian Muhammad saw, dan sebagainya. 
Buku ini sangat apa adanya, obyektif, dan ‘cukup kontroversial’. Jadi, butuh kelegowoan hati dan open mind dalam membacanya. Bagi Jeffrey Lang, pertanyaan rasional tidak akan merongrong iman. Justru, untuk menggapai iman sejati, dia menyarankan agar kita harus bisa membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan-keyakinan kita secara rasional. Jawaban-jawabannya Jeffrey Lang ini sangat logis dan tak terbantahkan, tapi juga membuat kita merenungi makna semua penuturan pengalaman-pengalaman spiritualnya.

Mencermati konflik politisi

Kehidupan sosial selalu dinamis, dimana dinamika sosial yang terjadi terus berubah dari zaman ke zaman. Dinamikan sosial yang terjadi yang ditengarai oleh adanya perubahan – perubahan sosial memunculkan berbagai konflik. Ya...konflik merupakan sebuah pertentyangan yang disesabkan oleh berbagai hal, dan menjadi bagian dari dinamisasi kehidupan. Konflik terkadang membuat tatanan lebih baik namun juga bisa mengakibatkan hal – hal yang tidak diinginkan.
Dalam dunia politik sangat rawan terjadi konflik. Karena pada prinsipnya politik adalah bagaimana memperoleh kekuasaan. Dalam sejarah tercacat beberapa konflik terjadi muali dari perang dunia I dan II, dan kemudian konflik antara blok AS dan blok Uni Sovyet. Banyak sebabnya mulai dari ideologi sampai pertarungan pengaruh.
Dewasa ini, di negeri ini sering kita lihat di media baik cetak maupun elektronik yaitu konflik yang terjadi di Internal partai politik tertentu, atau konflik terkait skandal bank century dll. Ini menjadi berita yang selalu muncul di TV. Mencengangkan memang melihat kelakuan para politisi yang sibuk berseteru dan tidak memikirkan rakyatnya. Apa yang menjadi penyebabnya??? Ya...sangat mengecewakan karena penyebabnya ternyata adalah UANG. Para politisi berseteru karena uang, karena krupsi, dan saling lempar kesalahan. Ini jelas menjadi cerminan bahwa politisi kita sudah buruk, korup, dan tidak lagi peduli dengan rakyat. Kasus Nazarudin yang diduga korupsi dana pembnagunan wisma atlet, kini menjadi perhatian karena membuat partainya yaitu Demokrat terjadi konflik antar anggotanya. Ini jelas hal yang sangat buruk, konflik yang terjadi ini jauh sekali dari kepentingan rakyat.
Berbeda dengan konflik sekarang ini, pada zaman kemerdekaan juga tidak terlepas dari konflik. Konflik yang terjadi misalnya antara Sekarno vs Natsir, Soekarno vs Sahrir, Tan Malaka vs Aidit semua itu dilatarbelakangi oleh ideologi, kepentingan yang prinsipil. Bikan karena uang.
Jadi bisa diakatakan, konflik yang terjadi mengalami penurunan kualitas. Kinflik yang terjadi sekarang tidak ideologis, tidak prinsipil, namun jelas karena faktor keserakahan semata. Dan kita patut prihatin dan muak dengan kelakuan para pelaku yang setiap hari nongol diberita televisi ataupun koran.