Selasa, 27 Oktober 2009

Agama dan Perilaku politik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama didefinisikan sebagai seperangkat atauran dan peraturan yang mengatur hubungan mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama mempunyai penganut – penganut yang percaya pada kebenaran – kebenaran yang dibawa oleh agama. Kehidupan manusia akan diatur sesuai dengan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh agama. Dalam hal ini agama sangat mempengaruhi manusia untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Agama menjadi sebuah ikon bagi masyarakat untuk diikuti dan dituruti segala yang diperintahkan. Sehingga sering terjadi fenomena khususnya di Indonesia, bahwa segala bentuk tindakan, organisasi, dll yang dilatarbelakangi agama akan mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat khususnya masyarakat agama baik dibidang sosial , budaya, ekonomi, maupun politik.
Dan yang menarik lagi sekarang ini banyak sekali partai politik yang melandaskan gerakan politiknya dengan asas agama. Hal ini menjadi menarik karena mengingat bahwa masyrakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul “ Pengaruh Agama dalam Perilaku Politik”.

B. Rumusal Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana pengaruh Agama dalam perilaku politik?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh Agama dalam perilaku politik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Agama
Agama didefinisikan sebagai seperangkat atauran dan peraturan yang mengatur hubungan mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama juga didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinana yang dianut dan tindakan – tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.
Agama menpunyai penganut – penganut yang percaya pada kebenaran – kebenaran yang dibawa oleh agama. Kehidupan manusia akan diatur sesuai dengan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh agama. Dalam hal ini agama sangat mempengaruhi manusia untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Agama menjadi sebuah ikon bagi masyarakat untuk diikuti dan dituruti segala yang diperintahkan. Sehingga sering terjadi fenomena khususnya di Indonesia, bahwa segala bentuk tindakan, organisasi, dll yang dilatarbelakangi agama akan mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat khususnya masyarakat agama baik dibidang sosial , budaya, ekonomi, maupun politik.

B. Arti Politik
Untuk memahami arti dari politik dalam literatur yang banyak berkembang di Barat, pendekatan legalitas sering digunakan. Politik diartikan sebagai urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan diartikan politik. Inilah pengertian politik yang paling umum dan kentara. Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Inilah definisi yang sampai sekarang masih tetap bertahan.
Namun definisi bahwa politik adalah negara tidak bisa menggambarkan dinamika dalam kehidupan politik itu sendiri. Kalau studi politik hanya mempelajari institusi itu maka tidak bisa menjelaskan mengapa institusi itu ada dan bagaimana proses sampai menjadi lembaga itu seperti parlemen, pengadilan, pemerintahan. Pengertian kelembagaan juga tidak dapat menjelaskan prose pengambilan keputusan di eksekutif misalnya. Definisi yang menekankan legalitas gagal menjelaskan kehidupan politik yang sebenarnya. Jadi kalau misalnya membicarakan.
Oleh sebab itulah berkembang definisi politik sebagai constrained use of social power (Goodin and Klingemann,1998). Oleh karena itu maka baik studi politik maupun praktek politik beralih menjadi studi mengenai sifat dan sumber keterbatasannya serta teknik-teknik menggunakan kekuasaan sosial di dalam keterbatasannya itu.
Dalam mengartikan “power” atau kekuasaan maka pandangan ilmuwan Robert Dahl bisa digunakan di sini. Jadi X memiliki power terhadap Y jika 1) X mampu dengan berbagai cara Y melakukan sesuatu 2) yang disukai X dan 3) Y tidak memiliki pilihan lain untuk melakukannya.
C. Agama sebagai rujukan politik
Di dalam perpolitikan Indonesia, Agama menjadi salah satu rujukan signifikan dalam setiap sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut, tampaknya, tidak disia-siakan kaum politisi. Dari perjalanan sejarah politik di Indonesia, para politisi dari beragam ideologi selalu menjadikan agama sebagai pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan politik mereka. Dalam hal ini, politisi yang berlatar belakang agama dengan ideologi kanan mendirikan partai agama dan yang berlatar belakang agama substantif mengusung nilai-nilai ajaran agama yang dikemas dalam partai terbuka. Sementara itu, politisi "nasionalis" yang sering dianggap sekuler juga tidak mau ketinggalan.
Dalam kiprah mereka di partai politik "nasionalis", mereka juga mendirikan lembaga keagamaan dengan tujuan mendukung politik mereka dari sisi keagamaan, termasuk upaya mendulang suara pada saat pemilu di daerah-daerah yang keagamaannya kuat. Bahkan, akhir-akhir ini, kalangan politisi dan agama mulai memperkuat jalinan silaturahmi melalui pertemuan yang kian intens dari saat ke saat. Tujuannya, tentu untuk menggalang kekuatan menghadapi Pemilu 2009.
Strategi para politisi untuk menjadikan agama sebagai dasar pengembangan politik tentu merupakan sesuatu yang sangat positif. Melalui upaya itu, nilai-nilai agama diharapkan mampu diejawantahkan dan dilabuhkan ke ruang publik sehingga kehidupan bangsa bisa mencerminkan moralitas luhur dari berbagai aspeknya. Namun, hal itu akan menjadi sesuatu yang naif jika pengusungan agama ke ranah politik dan ruang publik sekadar bersifat simbol dan atribut formal. Apalagi pembumiannya bernuansa primordialistik dan sektarianistik yang berpotensi menggerogoti solidaritas dan persatuan bangsa.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa agama menjadi daya tarik sendiri bagi perilaku politik masyarakat di Indonesia. masyarakat akan merasa nyaman bila memilih partai politik yang mempunyai kesamaan keyakinan dengan masyrakat.
Di Indonesia, perilaku pemilih merupakan topik kajian yang relatif baru. Ini disebabkan demokrasi bukanlah gejala yang dominan dalam sejarah politik kita. Indonesia pernah punya pemilu demokratis pada tahun 1955, tapi studi tentang perilaku pemilih secara sistematis belum berkembang waktu itu. Karena studi perilaku pemilih belum berkembang, studi yang lebih deskriptif lebih menjadi tumpuan. Salah satunya adalah temuan Clifford Geertz tentang politik aliran dan perilaku pemilih Indonesia. Menurut Geertz, aliran abangan cenderung memilih PNI dan PKI, santri memilih partai-partai Islam seperti Masjumi, Partai NU, Perti, dan PSII. Di dalam aliran santri ini ada semacam sub-aliran, yakni santri modernis dan santri tradisionalis. Yang pertama menjadi dasar kultural bagi dukungan terhadap Masjumi, sedangkan yang kedua terhadap Partai NU. Sekarang ini juga hampir sama, masyarakat muslim NU cenderung akan memilih PKB yang memang didirikan oleh intelektual NU dengan tokohnya Gus Dur. Demikian juga dengan PAN, walaupun tidak menyatakan partai muhammadiyah tapi salah satu tokohnya yaitu Amien Rais pernah menjadi Ketua Muahammadiyah sehingga warga muhammadiyah akan cenderung memilih PAN.
D. Gerakan Politik Agamis PKS
PKS merupakan hasil dari transmisi gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia yang telah menghasilkan gerakan dakwah yang dikenal dengan gerakan tarbiyah. Gerakan Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan Islamisme atau gerakan yang menganggap Islam tidak hanya sebagai agama tetapi sekaligus ideologi politik (Roy, 1992). Gerakan tarbiyah muncul sejak tahun 1970-an dengan pusat perkembangan utamanya adalah di kampus-kampus dan sekolah-sekolah dan terus berlangsung hingga sekarang.
Setelah Soeharto lengser tahun 1998, gerakan tarbiyah berkembang menjadi partai politik Islam dengan mendirikan Partai Keadilan (PK) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tahun 2001. Meski telah bertransformasi menjadi partai politik, metode pembinaan yang digunakan PKS tetap mengacu pada sistem pengkaderan dakwah tarbiyah yang telah mengakar di sekolah dan kampus tersebut. Bahkan PKS sendiri secara resmi menjadikan lembaga dakwah kampus (LDK) dan lembaga dakwah sekolah (LDS) sebagai sumber rekruitmen peserta tarbiyah yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dakwah tersebut (Tim Kaderisasi PKS, 2003). Secara tidak langsung suksesnya perkembangan dakwah tarbiyah di sekolah dan kampus telah memberikan keuntungan politik bagi PKS yaitu dukungan kader tarbiyah terhadap PKS dengan pencitraan partai dakwah.
Kegiatan tarbiyah kaderisasi PKS dapat dikatakan sebagai sebuah proses sosialisasi politik keagamaan karena dengan mengikuti kegiatan tarbiyah, baik sebelum dan setelah berdirinya PKS, memungkinkan individu untuk mendapatkan pengetahuan dan orientasi politik disamping mendapatkan pengetahuan agama. Misalnya, beberapa prinsip pemikiran Ikhwanul Muslimin yang disosialisasikan dalam gerakan tarbiyah adalah Islam merupakan ajaran bersifat totalitas yang tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Hal ini memperjelas bahwa PKS merupakan partai yang berbasis Islam yang mayoritas di pilih oleh muslim yang dapat dikategorikan pelajar. Jadi tidak salah kalau sekarang ini PKS dapat dikatakan sedang naik daun. Dengan simbol – simbol keagamaan dan loyalitas keislamannya menjadikan partai ini sekarang mulai banyak dilirik oleh masyarakat muslim yang dalam kategori Geertz masyrakat muslim modernis (intelektual).
Hal ini menunjukan perilaku politik masyarakat masih dipengaruhi oleh faktor – faktor agama.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi masyarakat Indonesia agama mempunyai pengaruh tersendiri dalam melakukan tindakan politik. agama menjadi salah satu faktor bagi masyarakatnya untuk memilih partai politik. Banyaknya partai politik juga mengindikasikan bahwa agama juga menjadi strategi bagi partai politik untuk memperoleh dukungan dari masyrakat. Sekarang ini partai yang mengatasnamakan nasionalis juga mulai melakukan pendekatan terhadap tokoh agama dll. Yang dimaksud untuk mencuri perhatian masyarakat. Jadi baik partai agamis maupun nasionalis sekarang berlomba – lomba mencari perhatian masyarakat yang kebanyakan beragama.

B. Saran
Dari simpulan di atas sebaiknya partai politik tidak hanya menggunakan agama sebagai alat untuk mencari massa tapi juga benar – benar menjunjung tinggi prinsip kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rabu, 27 Mei 2009

Lunturnya Nasionalisme oleh Uang

Melihat performa tim bulutangkis yang mulai stagnan sungguh menyedihkan. Indonesia selama bertahun-tahun menjadi raksasa dunia, sekarang sudah mulai kehilangan tajinya. Namun, yang paling menyedihkan di saat pemain Indonesia butuh pengembangan, justru malah kehilangan seorang pelatih sekelas Hendrawan. Y…lagi- lagi Malaysia sang tetangga yang mengaku saudara dengan uangnya berhasil membeli pelatih-pelatih Indonesia. Apakah Malaysia begitu bodoh sehingga tidak ada pelatih berkualitas???
Sedih, marah, memang kita rasakan ketika uang telah membeli nasionalisme terhadap bangsa. Rasionalisme sebagai alasan mereka ( Hendrawan_red ) untuk memilih uang dari pada membangun kejayaan bangsa.
Kalau begini terus lama – lama andalan Indonesia dibeli semua oleh Malaysia. Malaysia, tidak cukupkah kalian mencuri kekayaan Indonesia, tidak cukupkah kaliah mencaplok pulau Indonesia, tidak cukupkah kalian membeli TKI untuk jadi pekerja. Sekarang kalian sedikit demi sedikit membeli nasionalisme pahlawan bulutangkis negeri tercinta ini. Apa maumu??? Ingin membeli bangsa ini??
Kepergian Hendrawan mudah – mudahan tidak lagi di ikuti oleh yang lain. Nasionalisme harus tetap membara dan harus kita junjung tinggi di atas segala – galanya termasuk uang. Menangis rasanya kalau founding father kita Bung Karno melihat anak – anak Indonesia sudah terbudaki oleh uang dari pada nasionalisme. Malaysia, go to hell with your money!!!!

Jumat, 08 Mei 2009

Struktur masyarakat jawa perkotaan

Setelah berakhirnya perang dunia II, orang jawa yang tinggal diperkotaan umumnya terbagi kedalam tiga lapisan sosial yaitu: 1. Golongan orang biasa dan pekerja kasar, 2. Golongan pedagang, dan 3. Golongan pegawai pemerintahan. Sebelum perang dunia II di yogyakarta dan surakarta masih ada satu golongan sosial lain yaitu kaum bangsawan Jawa.
Golongan pekerja kasar ( orang biasanya menyebut tiyang alit ) merupakan jumlah terbanyak dari seluruh penduduk kota. Tiyang alit ini meliputi pedagang kecil, buruh kecil, dan tukang yang banyak ada di pasar. Kebanyakan penduduk kota di atas tinggal di daerah miskin kota.
Golongan yang kedua yaitu pedagang dimana pedagang sendiri ada bermacam – macam. Dalam hal masyarakat jawa, pedagang pribumi yang berada di kota-kota Jawa sering disebut sodagar . pedagang pribumi biasanya mengisi sektor – sektor yang belum digarap oleh orang Tionghoa, yaitu perdagangan tengkulak hasil bumi seperti tembakau, serta komoditi lain seperti tekstil, kerajinan rumah tangga dll. Ada juga sodagar yang memilii usaha yang lebih besar seperti perusahaan batik tulis, serta ada juga yang mendirikan perusahaan rokok kretek.
Sodagar jawa sendiri ada yang menarik terutama dari studi yang dilakukan oleh C. Geertz dimana ada sebuah istilah sodagar kauman. Hal ini sangat dipengaruhi oleh unsur agama, dimana sodagar kauman merupakan pedagang jawa terutama yang sangat taat kepada agama Islam, selain itu pandangan hidup mereka juga didasari oleh agama itu. Mereka rajin sembahyang lima waktu, sembahyang Jumat, tidak mekan babi, tidak mengadakan slametan seperti priyayi, dan bercita – cita untuk naik haji ke Mekkah.
Kelas yang paling tinggi adalah golongan pegawai negeri yang umumnya tinggal di pusat kota, dan sering disebut priyayi. Priyayi sendiri sebelum Perang Dunia II dibedakan antara priyayi Pangreh Praja dan priyayi bukan Pangreh Praja. Pangreh praja adalah para pejabat Pemda, dimana mereka orang-orang terpenting dan paling tinggi gengsinya diantara para priyay ilainnya. Sementara yang bukan Pamreh Praja adalah golongan orang – orang terpelajar yang berasal dari pedesaan serta tiyang alit di kota yang berhasil menjadi pegawai negeri melalui pendidikan.
Sebelum PD II ada suatu golongan priyayi yang terpandang secra khusus yaitu pegawai pemerintahan serta orang profesional yang punya gelar perguruan tinggi, seperti dokter, pengacara dll. Mereka pada waktu itu sangat terpandang karena jumlahnya yang masih sangat sedikit. Namun sekarang ini orang seperti mereka yang disebut diatas tidak lagi memiliki kedudukan yang istimewa seperti dulu, karena jumlah merekan yang sudah sangat banyak.
Dari keluarga priyayi sendiri, mereka mempunyai pola kehidupan yang diturunkan serta disosialisasikan kepada keturunannya. Dimana di dalam keluarga priyayi, anak mempunyai arti tersendiri. Anak mereka anggap membawa kehangatan serta kebahagiaan dalam keluarga. Selain itu fungsi ekonomi anak juga mejadi amat penting dimana anak menjadi jaminan hari tua. Dalam keluarga priyayi yang mempunyai gaji tetap biasanya mempunyai banyak anak, karena merupakan lambang gengsi juga. Unsur gengsi inilah yang selama ini menghambat suksesnya program keluarga berencana terutama pada keluarga priyayi.
Selain itu bahasa yang biasa digunaka para priyayi biasanya menggunakan bahasa krami yang menjadi bahasa resmi.
Sementara, mengenai masalah kehamilan dan kelahiran keluarga priyayi boleh dikatakan sering melakukan upacara – upacara. Diman pada usia kandunga tujuh bulan, mereka mengadakan upacara mitoni. Upacara ini mereka lakukan diantaranya untuk menitikberatkan pada aspek agama. Namun menurut saya justru hal –hal seperti itu tidak ada dalam tuntunan agama.
Menarik lagi mengenai keluarga priyayi, yaitu dalam hal pemberian nama pada anak. Mereka sebisa mungkin menghindari nama – nama yang berbau dusu, seperti suminem, tuminah, dll. Mereka lebih senang dengan nama yang berbau ningrat. Kalau tidak, mereka lebih senang memberi nama yang terlihat lebih nasional seperti Kartika Dewi, Dewi Sawitri, dll.
Namun dalam priyayi kauman, mereka lebih senang menggunakan nama arab seperti Muhammad, Dahlan, Aisyah, Maimunah, dll.
(malik, sosant_06)

politik simbilisme

Politik Simbolisme

Di televisi ditayangkan adegan ”dramatis”, ”menyentuh”, dan ”menggugah”. Wiranto—Ketua Umum Partai Hanura—makan
nasi aking di tengah kerumunan orang di sebuah keluarga miskin di Serang, Banten (SCTV Liputan6.com, 20/3/2008). Ia
merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak dimakan.

Apa yang dilakukan Wiranto jelas bukan sesuatu yang natural, tetapi lebih merupakan bagian kontestasi politik
menyongsong Pemilu 2009.

Dalam kajian antropologi politik, adegan Wiranto makan nasi aking itu merupakan salah satu bentuk the politics of
symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial—dalam hal ini
realitas kemiskinan di masyarakat—yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz
1973; Gupta & Ferguson 1992).

Di situ simbol yang ditampilkan adalah nasi aking yang dikonsumsi orang miskin, terutama kalangan masyarakat Jawa.
Kita tidak tahu, benarkah tindakan itu dilandasi ketulusan hati untuk berempati atas penderitaan kaum miskin. Apakah hal
itu juga merupakan kepedulian dan simpati dari nurani atas problem kemiskinan, yang membelit 39,5 juta penduduk
Indonesia. Wiranto memang memberi nama partainya ”Hanura’—Hati Nurani Rakyat.

Politik simbolisme

Merujuk pandangan antropolog Akhil Gupta dalam The Anthropology of the State (2006), ”atraksi” Wiranto itu terkait dengan
sesuatu yang disebut the imagination of the state power. Kita maklum, sejak awal Wiranto sudah bersiap-diri dan sedang
melakukan konsolidasi untuk menggalang dukungan politik dalam rangka pemilihan presiden mendatang. Wiranto dan
partai penyokongnya menjadikan isu kemiskinan sebagai tema besar kampanye. Untuk itu, Wiranto merasa perlu
menunjukkan kepada publik bahwa ia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi masalah sosial yang akut ini. Kelak bila
terpilih menjadi presiden, pemberantasan kemiskinan akan dijadikan agenda kerja paling utama dalam pemerintahan
yang dipimpinnya. Hal itu tercermin pula dalam iklan politik Partai Hanura di berbagai media.

Dalam konteks demikian, imajinasi kekuasaan yang bergelayut di alam pikiran Wiranto dimanifestasikan dengan
mengeksploitasi—tak selalu bermakna negatif—isu kemiskinan yang diderita banyak penduduk Indonesia. Nasi aking
merupakan lambang kemiskinan paling nyata. Maka, Wiranto memanipulasi—juga tak selalu berkonotasi negatif—makna
simbolis di balik aksi makan nasi aking itu.

Amat jelas, ada tautan antara politik simbolisme—makan nasi aking—dan imajinasi kekuasaan, yakni upaya menggapai
jabatan menjadi presiden. Sebagai sosok pemimpin, Wiranto berusaha membangun basis legitimasi kekuasaan politik,
kepercayaan publik, dan kredibilitas moral melalui aneka ragam aksi sosial, yang berpotensi melahirkan dukungan rakyat.
Wiranto bermain pada tataran simbolisme dan menggunakan pendekatan kemanusiaan, yakni berasosiasi dengan
sekelompok masyarakat miskin guna menunjukkan jiwa populis dan merakyat.

Namun, penting dicatat, spirit kerakyatan yang dibangun melalui politik simbolisme tidak sama-sebangun dengan
gagasan dan cita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Sejauh ini
belum ada pemimpin politik atau parpol yang memiliki cetak biru secara komprehensif, solid, dan meyakinkan bagaimana
mengatasi problem kemiskinan dan membangun masyarakat sejahtera dan makmur.

Penting diketahui, politik simbolisme sama sekali tak bertujuan menolong rakyat miskin sebab esensi politik simbolisme
hanya menjadikan suatu subyek (baca: masyarakat miskin) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka
memobilisasi dukungan politik.

Politik pencitraan

Apa yang dilakukan Wiranto sejatinya tak lebih dari sekadar—serupa dengan SBY—tebar pesona dengan membangun
citra-diri sebagai figur populis dan merakyat. Aksi makan nasi aking merupakan bentuk politik pencitraan-diri dalam wujud
yang lain. Berdasar pengalaman pemilu lalu, politik pencitraan-diri terbukti amat efektif dan sukses mengantar SBY
menjadi presiden. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana SBY melakukan politik simbolisme dengan
mengeksploitasi sosok petani miskin di Cikeas, Bogor. Ketika mendeklarasikan ”koalisi kerakyatan”, SBY berasosiasi dan
mengidentifikasi diri sebagai figur populis dan merakyat melalui representasi Pak Manyar, sang petani miskin. Sungguh
ironis, hingga periode jabatan kepresidenan hampir berakhir pun nasib Pak Manyar tak kunjung berubah. Ia dan banyak
penduduk di kampungnya tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan tempat tinggalnya ”dikepung” kompleks hunian elite
milik orang-orang kaya.

Sayang, Wiranto kurang canggih mengadaptasi hal serupa yang pernah dilakukan SBY dalam dimensi lain politik
pencitraan-diri. Seperti SBY yang mengeksploitasi pencitraan-diri—juga dilandasi imajinasi kekuasaan untuk meraih
jabatan presiden pada Pemilu 2004—demikian pula yang dilakukan Wiranto.

SBY dan Wiranto sejatinya mewakili sebagian besar elite nasional dalam berpolitik, yang ketika mengartikulasikan
persoalan kemiskinan dilakukan melalui politik simbolisme dengan cara kurang dalam. Di mata politisi dan mereka yang
punya imajinasi kekuasaan, realitas kemiskinan hanya dijadikan medium proses reproduksi politik simbolisme.

Betapa menyedihkan, mereka yang hidup dalam kubangan kemiskinan selalu dijadikan ”barang dagangan” dalam setiap
ritual politik pemilu. Sejak 1998, presiden sudah berganti empat kali, tetapi pemimpin yang mengemban amanat
kekuasaan tidak mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan. Wahai para elite, politisi, dan capres, berhentilah
mereproduksi politik simbolisme.


sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.28.00372055&channel=2&mn=158&idx=158

Novel ayat - ayat cinta ( Analisis Sosiologi Gender )

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir, sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri yang berbeda-beda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih, 1997 dalam Muthali’in, 2001: 21).
Gender secara terminologis digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich, dalam Muthali’in, 2001: 21). Yang dimaksud dengan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut “merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo, manut, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya, ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan sementara ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa, tanpa harus bertukar jenis kelamin.
Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dari tempat satu ke tempat yang lain, dan waktu ke waktu dan masyarakat yang berbeda. Jadi, semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan tempat ke tempat lainnya itulah yang dikenal dengan konsep gender. Oleh karenannya, selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, namanya bukan kodrat, tetapi konstruksi gender (Marhaeni, 2007).
Adanya konstruksi gender yang melekat dalam masyarakat tersebut, tidak sedikit mengakibatkan ketidakadilan gender dalam masyarakat khususnya perempuan. Salah satu ketidakadilan gender adalah perempuan selalu menjadi subordinat dibandingkan laki – laki, baik dalam politik, ekonomi, sosial, ataupun budaya. Seringkali perempuan menjadi korban kekerasan baik dalam rumah tangga ataupun di dalam dunia luar. Tidak hanya tergambar dalam dunia nyata seorang perempuan selalu mengalami ketidakadilan gender, tetapi dalam dunia sastra yang tertuang dalam sebuah novel (fiksi atau non fiksi) penulis juga sering menggambarkan perempuan adalah sosok yang selalu berada dalam ketidakberdayaan karena dianggap lemah dan tidak punya kekuataan untuk melawan.
Novel fenomenal ”Ayat – Ayat Cinta” karangan Habiburrahman El Shirazy merupakan salah satu novel yang isi cerita di dalamnya terdapat adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Hal tersebut tergambar dalam beberapa penggalan paragraf yang menampakkan betapa menderitanya seorang perempuan karena di siksa lahir dan batin oleh keluarganya. Novel bernuansa Islami ini mampu membuat para penggemarnya terkesima dengan alur cerita di dalamnya. Dengan adanya latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul ”Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Teori Feminisme Radikal dan Multikultural”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana analisis novel Ayat – Ayat Cinta dalam kajian teori feminisme radikal dan multikultural ?
BAB II
PEMBAHASAN


A. HASIL PENELITIAN
1. Hasil Penelitian dalam Novel Ayat – Ayat Cinta
Berikut ini adalah kutipan beberapa paragraf yang terdapat dalam novel ayat – ayat cinta tentang ketidakadilan gender terhadap perempuan, yaitu sebagai berikut :
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba – tiba kami mendengar suara orang ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh dan melihat ke bawah. Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu menjerit dan menangis, sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan. ”Jika kau tidak mau mendengar kata – kata kami, jangan sekali – kali kau injak rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya (73).

Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya didalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu dengan nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan kejadian yang kerap berulang kali. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan – bulanan kekasaran ayahnya dan kedua kakaknya. Entah kenapa ibunya. Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat. Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya (74).

”Dia benar – benar anak pelacur sial! Dia benar – benar anak setan! Anak tak tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah – rajah mukanya biar tahu rasa!” (123).

Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Night Club mengapung di atas sungai Nil. Mona dan kakak sulungnya bekerja di sana. Sedangkan Suzan katanya bekerja di sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik – bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri (134).

Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu. Memasak, mencuci, mengepel, semua menjadi tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan oleh ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar. Itupun karena sekolah di sana gratis. Dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya (135).

Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir, ketika ayahnya memaksanya ikut bekerja di Night Club seperti Mona. Ayahnya bahkan dapat tawaran dari bosnya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat Noura. Pada waktu ayahnya bercerita pada bosnya kalau Noura saat TK pernah menang lomba menari. Melihat kecantikan Noura bos ayahnya melihat peluang bisnis. Noura laku untuk dijual. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya itu (135).

Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat setelah maghrib. Ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak, ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali – kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura – pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di kamar tidak mau keluar dan tidak mau membukakan pintu (135).

2. Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Gender

Berdasarkan pada kutipan – kutipan teks tersebut diketahui bahwa terdapat adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Noura seringkali mendapatkan perlakuan kasar oleh keluarganya baik oleh ayah, ibu, ataupun kedua kakaknya. Noura adalah gadis belia yang cantik dan juga sholehah, akan tetapi nasibnya tidak secantik wajahnya. Seringkali Noura disiksa oleh ayahnya Bahadur, dengan alasan yang tidak jelas. Noura mengalami kekerasan fisik berupa diseret, ditendang dan dicambuk berkali – kali. Selain kekerasan fisik Noura juga mengalami kekerasan psikologis. Secara psikologis Noura sangat tertekan dan ketakutan dengan berbagai tindak kekerasan dan siksaan yang dilakukan oleh keluarganya, salah satunya adalah kata – kata kasar yang sering keluar dari mulut ayah, ibu, dan kedua kakaknya tersebut.
Sampai suatu ketika puncak dari kemarahan itu, Bahadur memaksa Noura untuk menjadi penari perut di sebuah Night Club. Jelas saja gadis berjilbab itu menolaknya. Karena Noura tidak mau, Bahadur murka dan kembali menyiksa Noura dengan kejam tanpa belas kasih sedikitpun. Kekerasan dan kata – kata kasar kembali keluar dari mulut lelaki berkulit hitam tersebut.
Realitas kehidupan sosial yang selalu menampakkan kekerasan terhadap perempuan, seolah – olah telah terkonstruksi secara sosial bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak mampu melawan apabila disakiti baik lahir maupun batin. Bahkan dalam beberapa karya sastra seperti dalam novel ayat – ayat cinta tersebut, seorang perempuan dijadikan sebagai pihak yang selalu tertekan dan tertindas demi mendapatkan sebuah keuntungan materi. Noura akan dijual sepuluh ribu pound demi menuruti keinginan dari keluarganya, karena hal tersebut dianggap sangat menguntungkan mereka.
Di sini sangat terlihat jelas bahwa perempuan selalu dijadikan objek untuk diperlakukan secara sewenang – wenang. Anehnya lagi perempuan pun terkadang lebih memilih mengalah dan membiarkan dirinya tersakiti dari pada melawan siksaan semua itu. Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis. Adanya konstruksi gender yang selalu mensubordinatkan perempuan dan akhirnya menjadi pihak yang termarginalkan mengakibatkan dirinya menjadi seseorang yang tidak berdaya yang akhirnya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya dia terima yaitu kekerasan ataupun penyiksaan.

B. Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Teori Feminisme
1. Feminisme Radikal
Dalam analisis novel ayat – ayat cinta ini peneliti hanya membatasi untuk menganalisis terhadap ketidakadilan gender yang di alami oleh Noura dalam cerita novel tersebut. Dalam feminis radikal – libertarian Gayle Rubin, sistem seks atau gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk mentransformasi seksualitas biologis menjadi kegiatan manusia. Jadi misalnya masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki – laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku ”maskulin” dan ”feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki – laki dan melemahkan perempuan (Tong, 2008 : 72). Dapat terlihat opresi atau kekerasan yang terjadi terhadap Noura juga merupakan salah satu serangkain perilaku maskulin (kuat, kasar dll) yang diperankan tokoh Bahadur yang dengan sewenang – wenang memperlakukan Noura dengan kejam.
Menurut teori feminisme radikal dalam The Dialektic of Sex Shulamith Firestone mengklain bahwa patriarki merupakan subordinasi perempuan yang sistematis (Tong, 2008 : 107). Hal tersebut berakar dari ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin. Dalam novel ayat – ayat cinta, tokoh Noura selalu mendapatkan perlakuan yang kasar dari keluarganya terutama ayahnya dikarenakan perempuan selalu diklaim makhluk yang lemah seperti yang dikatakan teori feminisme radikal bahwa opresi terhadap perempuan salah satunya karena ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin yaitu laki – laki dan perempuan. Dimana ayahnya yaitu Bahadur adalah sosok laki – laki yang kuat, kejam, pemarah, dan ringan tangan. Hal tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan sosok perempuan yang selalu dianggap berada di bawah kaum laki – laki.
Dalam kebudayaan Mesir sistem kekerabatan juga menggunakan asas patriarki. Seperti yang dikemukakan pula oleh teori feminisme radikal bahwa patriarki merupakan subordinasi perempuan yang sistematis, maka dari itu kekuasaan selalu ada ditangan laki – laki. Bahadur adalah orang yang sangat berkuasa terutama dalam keluarganya. Sehingga hal apapun yang dilakukannya ia anggap bukan sesuatu hal yang salah, seperti penyiksaan yang dilakukan terhadap Noura merupakan salah satu bukti bahwa asas patriarki sering kali disalah gunakan dan akhirnya sering kali membuat seorang perempuan teropresi baik secara fisik ataupun psikologis.
2. Feminisme Multikultural
Selain analisis dengan menggunakan teori feminisme radikal, menurut peneliti novel ayat – ayat cinta juga dapat dianalisis dengan menggunakan toeri feminisme multikultural. Bahwa dalam teori multikultural didasarkan pada pandangan di dalam satu negara, Amerika Serikat misalnya semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras, dan kelas, seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, setiap perempuan di Amerika Serikat akan mengalami opresi terhadap mereka sebagai seorang perempuan Amerika secara berbeda pula (Tong, 2008:310-311). Dalam hal ini perbedaan ras kulit putih dan kulit hitam sering kali timbul berbagai masalah, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
awal dari kekerasan yang dilakukan keluarganya terhadap Noura adalah karena ia dianggap berbeda dalam kelurganya yang semuanya berkulit hitam sedangkan Noura berkulit putih. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan paragraf berikut ini :
Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil ia dikenal cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah, dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang sekolah dan menangis sejadi – jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar keseluruh kelas. Tema itu mengatakan ”tidak mungkin ibumu tidak melacur, buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ’kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu!” sejak itu Noura menjadi bulan – bulanan kedua kakaknya dan ayahnya.

Dalam kutipan di atas terlihat jelas bahwa opresi atau kekerasan yang dialami Noura berawal dari adanya perbedaan kulit putih dan kulit hitam antara Noura dan kedua kakaknya. Perbedaan tersebut membuat kedua kakaknya murka kepada Noura, karena kakaknya yang berkulit hitam sering mendapatkan hinaan dari teman – temannya di kelas. Di sini dapat terlihat bahwa perbedaan ras atau warna kulit dapat menjadi suatu permasalahan yang akhirnya berakhir dengan suatu konflik yang berkepanjangan. Madame Syima dituduh melacur karena anaknya Noura berbeda dengan kedua kakaknya yang berkulit hitam. Suaminya bahadur pun menuduhnya melacur dengan pria lain, sejak saat itu pula Bahadur membenci istrinya madame Syima.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa cerita dalam novel ayat – ayat cinta dapat dianalis dengan menggunakan teori feminisme radikal dan multikultural. Teori radikal membahas opresi terhadap perempuan terjadi karena ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin. Hal tersebut dapat terlihat dari perlakuan yang dilakukan Bahadur terhadap Noura dengan kejam, karena secara biologis lelaki lebih memiliki kekuatan yang lebih dibanding dengan perempuan. Menurut teori multikultural opresi perempuan terjadi karena perbedaan ras, warna kulit dan sebagainya. Noura mendapatkan perlakuan kasar karena dia berbeda dengan kedua kakaknya. Noura berkulit putih sedangkan kedua kakaknya berkulit hitam, mulai dari hal tersebutlah akhirnya memunculkan sebuah konflik yang berkepanjangan sampai akhirnya Noura sering disiksa oleh keluarganya.

B. SARAN
Dengan adanya teori – teori feminisme tersebut dapat digunakan dalam menganalisis berbagai bentuk novel, ataupun fenomena lainnya yang ada dalam kehidupan masyarakat. Adanya teori tersebut juga dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan atau acuan dalam melihat berbagai opresi yang terjadi pada perempuan, sehingga tidak salah menilai dalam berbagai konsepsi yang berbeda.

REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mengintip jendela budaya Jawa, ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun. Di dalamnya, tanpa disadari banyak filosofi yang termaktub di dalam budaya Jawa, diantaranya seperti falsafah hidup orang Jawa. Orang Jawa menitikberatkan kepada pola pikir, karena pola pikir di dalam orang Jawa itu senada dengan falsafah hidup. Dalam pandangan Mulder (1986;48) cara berpikir orang Jawa merupakan suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas.
Dalam pandangan Jawa, Pria atau Laki-Laki berarti terhormat atau terpuji di dalam tradisipun pria dianggap lebih terhormat. Hal ini terbukti, kepala keluarga di Jawa adalah Bapak yang berarti menjadi “penguasa” dalam rumah tangga, ini berdampak kepada kepercayaan anak yang lebih besar terhadap Bapak ketimbang pada Ibu, apa yang dikatakan Bapak biasanya sangat ditakuti oleh Anak, dan Ibu. Hal ini yang perlu direkonstruksikan di dalam falsafah hidup orang Jawa. Agar nantinya dapat menjadikan pengetahuan untuk meminimalisir kesenjangan terhadap perempuan khususnya pada masyarakat Jawa (Endraswara, 2006 : 53).
Falsafah hidup di dalam orang Jawa penting untuk dikaji, karena falsafah bagi orang Jawa sebagai dasar dari pola pikir dan tombak kebudayaan yang disadari atau tidak sudah membudaya di dalam masyarakat Jawa sendiri. Selain itu, pelabelan akan peran secara tidak langsung memberikan dampak terhadap kesenjangan gender pada kaum perempuan di Jawa. Disisi lain falsafah Jawa dijadikan tendensi yang dapat melahirkan suatu dogma di dalam masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut maka kemudian dipilih permasalahan dalam rangka penyusunan makalah dengan judul “REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan disajikan beberapa rumusan masalah yang didasarkan dari latar belakang di atas yaitu :
1. Bagaimana konsep gender dalam falsafah hidup orang jawa ?
2. Bagaimana rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang jawa ?

C. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan :
1. Bagaimana konsep gender dalam falsafah hidup orang jawa
2. Bagaimana rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang jawa











BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP GENDER
Wacana gender mulai banyak dibicarakan pada awal tahun 1977. Ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu – isu lama seperti patriarchal atau sexist tetapi menggantinya dengan wacana gender (Sumiarni, 2004:1). Sejak lima belas tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan kata setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pembangunan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah selalu diperbincangkan masalah gender. Selalu kita masih terkaget-kaget manakala setiap pembicaraan tentang gender selalu membicarakan sosok perempuan dan laki-laki yang ini sama artinya mendekonstruksi tatanan atau konstruksi sosial yang sudah mapan (Marhaeni, 2007).
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks. Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996).
Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir, sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri yang berbeda-beda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta kelenjar air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih, 1997 dalam Muthali’in, 2001: 21).
Gender secara terminologis digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich, dalam Muthali’in, 2001: 21). Yang dimaksud dengan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut “merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo, manut, tlaten, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya, ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut, keibuan sementara ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa, tanpa harus bertukar jenis kelamin.
Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dan tempat satu ke tempat yang lain, dan waktu ke waktu dan masyarakat yang berbeda. Jadi, semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan tempat ke tempat lainnya. itulah yang dikenal dengan konsep gender. Oleh karenannya, selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, namanya bukan kodrat, tetapi konstruksi gender (Marhaeni, 2007).





B. KONSEP GENDER DALAM FALSAFAH ORANG JAWA
1. Pengertian Falsafah Jawa
Falsafah Jawa merupakan suatu pola pikir yang dijadikan pedoman hidup orang Jawa dalam mengembangkan gagasan untuk menjalani kehidupannya di lingkungan masyarakat. Yakni suatu keyakinan yang dihayati sebagai nilai yang memotivasi kehidupan orang Jawa. Pola pikir orang Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan dari pada sistematisasi rasional logisnya. Dalam pandangan Mulder (1986:48) cara berpikir orang jawa merupakan suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas. Olah pikir dan asah budi orang jawa senantiasa mendambakan keselamatan dan kesejahteraan (memayu-hayuning-bawana).
Manifestasi dari pola berpikir ini tampak pada pandangan hidup orang Jawa. Pola pikir akan melahirkan falsafah hidup atau lebih dikenal dengan pandangan hidup orang jawa. Sehingga hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pengalaman batin yang dianut orang Jawa dan membentuk suatu pemahaman hidup. Manakala pemahaman ini ditinggalkan, seakan-akan ada hal yang kurang lengkap dalam hidupnya.
Falsafah hidup orang Jawa, diperoleh secara turun-temurun dari leluhur mereka. Hal tersebut telah ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anak semenjak mereka kecil. Pandangan hidup orang Jawa ini, sangat kuat melekat dalam diri mereka sehingga akan sangat sulit untuk lepas dari pola pikir mereka meskipun perubahan zaman atau era globalisasi telah di depan mata. Masyarakat Jawa akan senantiasa menjunjung tinggi falsafah hidup mereka meskipun terkadang hampir tergerus oleh arus westernisasi. Apabila ada masyarakat Jawa yang telah mengesampingkan falsafah hidupnya, hal tersebut tentunya tidaklah dilakukan oleh masyarakat generasi tua yang benar-benar memegang teguh pedoman hidup ini (Endraswara, 2006 : 45).
2. Konsep Gender dalam Falsafah Orang Jawa
a. Laki-laki Jawa
Dalam falsafah orang Jawa, pria disebut juga laki-laki. Laki-laki berasal dari kata laki yang berarti terhormat atau terpuji. Laki-laki Jawa dikatakan memiliki sifat yang egois. Dalam menghadapi perempuan, laki-laki Jawa selalu ingin menang sendiri dan merasa lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan Jawa. Dalam tradisi kehidupan orang Jawa, laki-laki dipandang lebih terhormat. Laki-laki selalu berada di depan, hal ini terbukti kepala keluarga di Jawa adalah seorang bapak (laki- laki). Di Jawa tradisi patrilimonial masih sangat terasa, sehingga seorang bapak menjadi “penguasa” rumah tangga.
Kepercayaan anak kepada bapak pun amat berbeda dibandingkan dengan ibu. Anak lebih takut dan menurut nasehat seorang bapak. Apa yang dikatakan bapak, biasanya diikuti oleh anak dan ibu. Sehingga hal tersebut menjadikan seorang laki-laki menjadi bersifat otoriter karena berbau kratonik. Budaya kratonik menghendaki anak-anak harus sungkem kepada pinisepuh terutama kepada bapak. Dalam keadaan demikian, bapak menjadi sumber yang dianggap paling kuat dalam keluarga. Keluarga selalu mengundang bapak untuk kenduren, sebagai kepala rumah tangga.
Perbedaan laki-laki dan perempuan Jawa semakin dapat terlihat jelas ketika orang Jawa melakukan hukum waris. Dalam tradisi jawa, dikenal budaya sapikul sagendhongan, bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki dalam hukum waris mendapat sapikul dan wanita sagendhongan. Hal ini menggambarkan sikap orang Jawa yang meninggikan laki-laki dibanding perempuan. Laki-laki harus selalu mendapat bagian “lebih” dalam segala hal. Dalam budaya Jawa, laki-laki selalu dianalogikan sebagai orang yang sakti. Terkadang pula laki-laki Jawa menepuk dada dengan mengasumsikan dirinya sebagai lelananging jagad (pria Arjuna).
Laki-laki dianggap sebagai figur yang hebat, sakti, dan istimewa dibandingkan dengan perempuan. Jika perempuan lebih mengedepankan rasa, sedangkan laki-laki lebih mengedepankan pikiran (cipta) dan kemauannya. Itulah sebabnya laki-laki Jawa selalu berasumsi bahwa dirinya jangkahe dawa (langkahnya panjang) dan lebar, sedangkan perempuan Jawa dianggap kerubetan pinjung (terhimpit kain) sehingga jangkahnya (langkahnya) sempit. Hal ini diasumsikan dari pakaian yang dikenakan laki-laki dan perempuan Jawa tempo dulu. Itulah sebabnya laki-laki Jawa juga memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki bertugas melaksanakan lima-A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir dan batin), angomahi (membuat rumah sebagai tempat berteduh), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi (menjaga kondisi keluarga aman, tenteram, bebas dari gangguan), dan yang terakhir adalah angamatjani (mampu menurunkan benih unggul).
Dalam mengenakan pakaian adat jawa pun tampak sekali adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memakai udheng (iket). Berarti bahwa laki-laki dipandang lebih mudeng (paham) tentang hidup. Artinya pemikiran laki-laki lebih pintar dalam mengatasi segala persoalan hidup. Sebaliknya seorang perempuan mengenakan gelung dari kata gulung, rambut yang diikat berbentuk bulatan. Hal ini menggambarkan bahwa pemikiran seorang wanita yang selalu berputar-putar (Endraswara, 2006 : 55).

b. Perempuan Jawa
Kata wanita berasal dari tembung camboran, khususnya jarwadhosok dari kata wani ing tata. Artinya seorang wanita jawa harus dapat mengatur segala sesuatu yang dihadapinya, khususnya didalam rumah tangga. Lebih lanjut kata wanita akan diganti perempuan. Seorang Perempuan Jawa yang baik dalam pandangan hidup orang Jawa harus dapat memahami makna Ma – telu yaitu masak (memasak), macak (berhias), manak (menghasilkan keturunan). Pandangan ini mengasumsikan bahwa perempuan Jawa hanya bergerak dalam bidang dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (tempat tidur).
Pandangan demikian telah mengantarkan perempuan pada posisi ”terhormat” dihadapan laki-laki. Perempuan akan dianggap setia jika dapat memenuhi hal tersebut. Dikalangan pangeran atau priyayi, perempuan dianggap sebagai objek laki-laki atau pemuas seks. Menurut perspektif budaya Jawa, perempuan lebih bersikap rila, nrima, dan sabar. Sikap hidup rila, berarti ikhlas menyerahkan bagian hidupnya kepada suami. Sikap nrima, berarti merasa puas dengan kewajiban dan nasib sebagai pendamping suami. Sikap sabar, berarti sangat hati-hati dalam bertindak demi kebahagiaan suami.
Sikap hidup demikian ada karena anggapan bahwa perempuan diciptakan dari iga wekasan, sebelah kiri tulang rusuk yang terakhir laki-laki. Secara filosofi Jawa penciptaan ini memiliki arti tiga hal yaitu (1) wanita itu memiliki fitrah, untuk menjadi pendamping berada di sebelah kiri laki-laki (suaminya), (2) wanita memang semestinya diayomi (karena tulang rusuk tepatnya terletak di bawah ketiak), (3) wanita itu pada prinsipnya “lemah” seperti tulang rusuk yang membengkong dan elastis (Endraswara, 2006 : 56).

C. REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA
Dari uraian tentang konsep gender dalam falsafah hidup orang Jawa dapat dilihat adanya suatu kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan jawa. Dimana kesenjangan gender tersebut menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Hal tersebut dapat terlihat pada pembagian peran yang telah terkonstruksi dan mengakar pada pandangan hidup orang Jawa. Sebagaimana halnya laki-laki Jawa selalu diidentikan dengan seorang yang dianggap kuat, egois, dan lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan. Begitu pula sebaliknya perempuan Jawa hanya diidentikan dengan sosok seseorang yang lemah, menerima, dan hanya berkecimpung pada urusan domestik.
Menyalahkan laki-laki Jawa sebagai sebab adanya ketidaksetaraan gender sepertinya kurang adil, demikian juga menyalahkan perempuan Jawa yang terlalu nrimo terhadap dominasi laki-laki juga kurang bijaksana. Karena sikap dan perilaku demikian sesungguhnya sebagian besar dibentuk oleh lingkungan dan budaya masyarakat. Seperti kita ketahui bersama hampir disemua wilayah di negara kita lingkungan dan budaya masyarakat menempatkan laki-laki lebih “superior” di bandingkan dengan perempuan. Begitu pula dalam falsafah jawa yang menempatkan perempuan dalam posisi selalu di bawah kaum laki-laki. Bahkan apabila seorang suami yang mengijinkan istrinya bekerja untuk membantu mencari nafkah, kewajiban di atas (dapur, sumur, kasur) tetap menjadi urusan istri (perempuan). Hal itu menjadikan seorang perempuan memiliki peran ganda. Jika hal tersebut dilanggar ada anggapan masyarakat Jawa bahwa laki-laki tersebut dikelompokkan dalam golongan lelaki takut istri, anggapan ini terbentuk dari lingkungan dan budaya masyarakat.
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah sejajar, ada pula tugas dan kewajiban yang merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri, seperti memasak, mencuci, merawat anak, dan sebagainya. Ada juga urusan yang berkaitan dengan “kodrat” perempuan, seperti melahirkan dan menyusui anak. Karena hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Adanya konsep gender dalam masyarakat Jawa selalu disamakan dengan kodrat. Seperti contoh : seorang anak perempuan yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak. Oleh orang tuanya dianggap menyalahi kodrat. Sehingga masyarakat Jawa belum dapat membedakan antara kodrat dan konsep gender.
Pengetahuan masyarakat Jawa tentang gender sangatlah kurang, bahkan kebanyakan tidak tahu apa itu gender. Sehingga ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai “pemberontakan” perempuan oleh kaum laki-laki. Merubah konstruksi gender dalam masyarakat Jawa bukanlah hal yang mudah karena hal tersebut merupakan hasil lingkungan budaya yang sudah menjadi sikap dan perilaku yang menetap dalam lingkungan masyarakat.
Dibutuhkan program aksi yang bukan hanya sekedar terorientasi pada pengetahuan saja, karena secara teoritis pengetahuan tidak banyak sumbangan efektifnya terhadap sikap dan perilaku, apa lagi sikap dan perilaku tersebut sudah menetap dalam jangka waktu yang lama dan bahkan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran. Adanya rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa sangatlah penting untuk disosialisasikan dengan cara memberi suatu pengertian dan pemahaman tentang konsep gender. Sehingga hal tersebut diharapkan menciptakan adanya suatu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan Jawa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.











BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman gender pada masyarakat Jawa saat ini masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan pedoman hidup atau falsafah hidup orang Jawa yang telah tertanam kuat pada pikiran dan mengakar dalam semua aspek kehidupan. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang kuat atas konsep gender yang sesungguhnya dalam masyarakat. Peran serta anggota masyrakat dalam hal ini sangatlah diperlukan. Bukan tidak mungkin rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa akan sangat sulit terjadi manakala seluruh masyarakat tidak bekerja sama dengan baik satu sama lain.
Untuk mendapatkan keadilan gender dalam masyarakat Jawa maka diperlukan suatu rekonstruksi gender dalam pemahaman atau falsafah hidup orang Jawa itu sendiri. Hal tersebut dapat dimulai dengan menanamkan pemahaman gender pada anak-anak dalam keluarga karena dari keluargalah semua proses sosialisasi dimulai. Agar mendapatkan keseimbangan antara konsep gender dengan falsafah hidup yang dianut orang Jawa maka harus ditilik benar-benar mana yang menjadi kewajiban dan mana yang menjadi hak seorang perempuan dalam keluarga atau rumah tangga. Bukan hanya itu saja, kewajiban dan hak laki-laki dalam keluarga pun harus ditinjau lebih lanjut. Barulah setelah itu diperoleh rasa saling pengertian dan menghormati antara kaum laki-laki dan perempuan dalam aspek domestik maupun publik.

B. SARAN
Saran yang dapat kami sajikan atas fenomena gender dalam falsafah hidup orang Jawa di atas diantaranya :
1. Bagi kaum perempuan yang telah memahami konsep gender dan kesetaraan gender dalam masyarakat hendaknya juga menyadari kodrat perempuan dalam kehidupan rumah tangga mereka.
2. Untuk kaum laki-laki diharapkan dapat memahami dan ikut berpartisipasi dalam pembagian kerja dalam kehidupan berumah tangga, apabila istri sedang bekerja maka suami hendaknya bertoleransi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
3. Perlunya sosialisasi yang efektif tentang rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa melalui seminar-seminar maupun dialog-dialog dalam masyarakat terutama pada generasi muda.













DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Astuti,Tri Marhaeni P. 2007. Antropologi Gender. Semarang : UNNES Press
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Cakrawala
Fakih, Mansyur. 2006. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Fakih, Mansyur. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Illich, Ivan. 2002. Matinya Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sumiarni, Endang. 2004. Gender dan Feminisme. Yogyakarta : Wonderful Publishing
Company
Susanto, Budi dkk (ed). 1992. Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta : Kanisius

Sistem kekerabatan Jawa

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pulau Jawa adalah nama sebuah pulau di Indonesia. Pulau ini merupakan pulau terbanyak penduduknya, pulau terpadat penduduknya, dan pulau ketigabelas terbesar di dunia ini. Luas pulau ini 138.793,6 km2 dengan penduduk sekitar 124 juta jiwa (kepadatan 979 jiwa per km2). Penduduk Pulau Jawa sebagian besar adalah suku Jawa dan suku Sunda. Suku Sunda terutama bermukim di sisi barat Pulau Jawa, sementara suku Jawa bermukim di sebelah tengah dan timur. Di sebelah barat Pulau Jawa ada pula banyak kantong-kantong komunitas suku Jawa atau suku bangsa yang berbahasa Jawa. Sedangkan di tengah pulau Jawa ada juga ditemukan kantun-kantong komunitas suku Sunda atau suku bangsa yang berbahasa Sunda, terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Selain itu ada pula suku Madura, dan suku Bali di Jawa Timur dan suku Betawi di sebelah barat Jawa di kota Jakarta dan sekitarnya. Meskipun demikian, banyak orang mengartikan jawa adalah jawa tengah dan jawa timur yang sering disebut dengan daerah kebudayaan jawa. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan jawa ini dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem kekerabatan yana mengatur pola hubungan keluarga. Demikian juga dengan masyarakat jawa. Sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Pada masyarakat adat terdapat larangan yang berkaitan dengan urusan pernikahan. Hal tersebut dikarenakan orang jawa masih memegang teguh adat istiadat yang ada (orang jawa masih bersifat kejawen). Sehingga kekerabatan masyarakat jawa ini menarik untuk dikaji lebih dalam.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana sistem kekerabatan orang Jawa: proses perkawinan, bentuk kekerabatan, dan cara pembagian warisan dalam masyarakat Jawa?
PEMBAHASAN
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan istilah klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan satu istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah maupun ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin, yaitu paman dan bibi.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung; apabila mereka itu adalah pancer lanang yaitu anak dari dua saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas diperkenankan.
Ada macam-macam perkawinan lain yang diperbolehkan yakni:
1. Perkawinan ngarangwulu yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, merupakan perkawinan sororat.
2. Wayuh yaitu suatu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami).

Sebelum dilangsungkan perkawinan terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara. Seorang pria yang ingin kawin dengan seorang gadis, pertama-tama harus datang ke tempat kediaman orang tua si gadis untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada yang punya atau belum (legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal hal yang disebut nakokake itu dapat ditanyakan pada wali yakni anggota kerabat dekat yang dihitung menurut garis laki-laki (patrinileal), misalnya kakak laki-laki dan kakak dari ayah. Pada waktu nakokake si pria biasanya didampingi oleh wanita sendiri atau wakil orang tuanya. Sampai sekarang, terutama di desa masig ada perkawinan-perkawinan atas kehendak orang tua (perjodohan). Dalam keadaan serupa itu ada upacara nontoni, yakni si calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya. Apabila mendapat jawaban bahwa si gadis masih legan dan kehendak hati akan mempersuntingnya diterima, lalu ditetapkan kapan diadakan paningsetan. Hal ini merupakan upacara pemberian sejumlah harta dari si laki-laki kepada kerabat si gadis (orang tua atau walinya). Harta itu biasanya berupa sepasang pakaian wanita lengkap, terdiri dari sepotong kain dan kebaya yang disebut pakaian sakpengadek. Kadangkala ada yang disertai dengan sebuah cincin kawin. Dengan itu si gadis sudah terikat untuk melangsungkan perkawinan atau wis dipacangake.
Sebelum upacara paningsetan, terlebih dahulu diadakan perundingan untuk membicarakan tanggal serta bulan perkawinan. Dalam perundingan ini disebut perhitungan weton, yaitu perhitungan hari kelahiran kedua calon pengantin, berdasarkan kombinasi nama sistem perhitungan tanggal masehi dengan perhitungan tanggal sepasaran (mingguan orang jawa), merupakan suatu unsur yang amat penting.
Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin, diselenggarakan upacara asok-tukon. Upacara ini adalah suatu tanda penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada wanita secara simbolis berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak-ternak; sapi, kerbau, kuda, atau bisa juga suatu kombinasi antara berbagai harta kekayaan padi yang diserahkan kepada orang tua atau wali calon pengantin wanita, disaksikan oleh kerabat-kerabatnya. Asok-tukon juga disebut srakah atau sasrahan (tanda mas kawin).
Selain sistem perkawinan melalui cara pelamaran biasa diatas itu, di kalangan masyarakat jawa dikenal juga sistem perkawinan:
1. Magang atau ngenger, yaitu seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
2. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga priayi agung yang sudah dikumpuli terlebih dahulu.
3. Ngunggah-ngunggahi, yaitu dimana pihak kerabat si gadis justru yang melamar si jejaka.
4. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita atas kemauan kedua orang tua mereka. Pada umumnya perkawinan semacam ini banyak terjadi dalam perkawinan anak-anak atau perkawinan di masa lalu.

Sehari menjelang upacara perkawinan, pada pagi hari beberapa anggota kerabat pihak wanita berkunjung ka makam para leluhur untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selametan berkahan yang dilanjutkan dengan lek-lekan dimana para kerabat pengantin wanita serta tetangga dekat dan kenalan-kenalannya berjaga di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam menjelang hari perkawinan dinamakan malam tirakatan atau malam midadareni. Ada kepercayaan bahwa pada malam itu para bidadari turun dari kahyangan dan memberi restu pada perkawinan tersebut.
Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan diiringi oleh orang tua atau walinya berikut para handai taulannya dan juga para tetangga sedukuh maupun sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang dari anggota pamong desa yang khusus yang bertugas mengurus hal nikah, talak, dan rujuk. Setelah itu pergi ke KUA kecamatan menghadap penghulu, yakni salah satu pegawai kantor tersebut yang pekerjaannya mengawinkan orang, dengan upacara ijab qabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oleh wali dari kedua belah pihak dengan disertai penyerahan sejumlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkwinan islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita dengan memanggil penghulu. Kemudian setelah upacara berakhir dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelei yang akhirnya dipersandingkan diatas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya hal ini dapat dilakukan sesudah sepasar atau sama dengan lima hari sejak dipertemukan. Pemboyongan yang disertai upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki disebut ngunduh temanten.
Ada kalanya suatu perkawinan tidak berhasil memberikan kebahagian hidup kepada kedua orang suami istri, sehingga satu-satunya jalan yang diambil ialah bercerai (pegatan). Dalam hal ini perceraian hanya bisa dilakukan berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dan jika si istri tidak dalam keadaan hamil, dihadapan penghulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak sedangkan istri berhak memintai cerai yaitu dengan memberikan taklik. Namun kadang-kadang terjadi bahwa sekalipun istri telah meminta cerai karena suami tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, tetapi suami tetap tidak bersedia menjauhkan talaknya. Dalam keadaan seperti ini istri bisa mengadu kepada kaum, yang akan meneruskan pengaduan itu ke KUA kecamatan. Akhirnya KUA kabupaten yang akan memberikan keputusan. Pengaduan gugatan cerai dari seorang istri melalui perantara saluran instansi-insatansi agama yang resmi secara bertingkat-tingkat itu dinamakan rapak.
perceraian yang ditempauh koleh kedua suami istri untuk mengejar kebahagiaan hidup dengan cara seperti diurai diatas mengkin juga tidak membawa hasil. Padahal sesungguhnya mereka masih saling mencintai. Maka tidak jarang mereka untuk hidup rukun kembali, selama masih ada harapan bahwa kebahagiaan hidup itu dapat dicapai. Suatu perukunan kembali yang dilakukan sebelum melebihi jangka waktu 100 hari disebut rujuk, sedangkan apabila melebihinya disebut balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali. Kalau sudah mencapai talak sebanyak ini, maka untuk selanjutnya suami-istri harus bercerai selama-lamanya. Dalam hubungan ini seorang janda baru boleh bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah ia lewat masa iddahnya, yaitu suatu jangka waktu yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau sama dengan tiga kali lingkaran haid. Maksudnya ialah agar dapat diketahui bahwa wanita yang bercerai tadi benar-benar tidak dalam keadaan hamil, sebab kalau ia kawin sebelum masa iddahnya lampu maka anak yang dilahirkan itu menjadi tanggungan suami yang dahulu.
Sebagai kelanjutan dari adanya peristiwa perkawinan, timbul keluarga batih atau kulawarga. Keluarga batih dalam masyarakat jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dan proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala kulawarga disebut kepala somah. Ia bisa seorang laki-laki, tetapi juga bisa seorang wanita kalau si suami meninggal dunia. Bilamana ibu tidak ada lagi maka diangkatnya sebagai kepala somah baru dari salah seorang anak atas persetujuan yang lain. Untuk hal ini lebih diutamakan anak laki-laki tertua. Untuk kulawarga sempurna terdiri dari suami istri dan anak-anak. Sedangkan kulawarga yang terdiri kurang dari itu adalah kulawarga yang tak lengkap.
Kecuali bentuk-bentuk keluarga batih tersebut adapula bentuk keluarga luas, yakni suatu pengelompokkan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal. Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri, baik dalam anggaran belanja rumah tangga maupun dapurnya. Walaupun demikian tidak semua keluarga luas ini mempunyai tempat memasak atau pawon sendiri, sehingga ada yang bersamaan. Harus diperhatikan bahwa suatu keluarga luas tetap dikepalai oleh satu kepala somah, yaitu kepala somah yang terdahulu. Suatu keluarga luas biasa terjadi dengan adanya perkawinan antara seorang anak laki-laki ataupaun wanita yang kemudian tinggal menetap dalam rumah orang tua. Bila kepala somah meninggal dunia maka ia diganti oleh salah seorang dari keluarga yang pertama, juga kalau anggota ini tidak ada, barulah salah satu dari keluarga kedua yang mondok tadi menggantikannya atas permufakatan anggota-anggota lainnya.
Peranan seorang kepala somah disini akhirnya tampak dalam soal-soal urusan keluarga. Tentu saja usaha yang bertalian dengan hubungan keluarga, dan urusan-urusan ke dalam seperti pendidikan anak, pengaturan anggaran belanja keluarga, serta usaha mencari sumber hidup tetap berada di tangan masing-masing keluarga. Sama halnya dengan keluarga, keluarga luaspun ada yang sempurna dan tidak sempurna.
Suatu bentuk kelompok kekerabatan yang lain adalah sanak sedulur. Kelompok kekerabatan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyan sampai derajat ketiga. Biasanya kelompok ini saling bantu-membentu kalau ada peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan keluarga. Di dalaml kenyatannya kelompok kekerabatan kindred ini di masing-masing orang jawa di desa hanya terdiri dari mereka yang tinggal di desa, seperti saudara sepupu, paman-paman, bibi-bibi baik dari ipar ayah maupun ibu dan kerabat-kerabat dekat istrinya.
Dalam suatu sistem kekerabatan juga dikenal suatu bentuk kelompok kekerabatan yang disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Adapun tugas terpenting dari anggota alurwaris adalah memelihara makam leluhur. Biasanya salah seorang dari anggota alurwaris yang tinggal di desa dimana terletak makam leluhur, ditunjuk untuk menghubungi anggota alurwaris lain yang telah tersebar kemana-mana guna bersama-sama ikut merawat atau menyumbang untuk perawatan makam nenek moyan itu.
Pada umumnya orang jawa tidak mempersoalkan tentang tempat menetap seorang sesudah ia kawin, sehingga seseorang itu bebas untuk menentukan dimana ia harus tinggal, apakah ia hendak menetap di sekitar tempat kediaman kerabat sendiri atau kerabat istrinya, ataukah di tempat tinggalnya yang baru terpidah dari kerabat kedua belah pihak.
Setiap orang tua dari suatu keluarga batihtentu berkehhendak memelihara kelangsungan hak, kewajiban serta harta bendanya dengan meneruskan dan mewariskan hak-hak tersebut pada anak-anak sendiri. Adapun harta benda yang diwariskan antara lain berupa rumah, perabot, benda pusaka, ternak, tanah pekarangan, pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, dan tanah pertanian. \
Dalam pembagian warisan harta besnda peninggalan orang tua tersebut dipakai dua cara, yaitu:
1. Cara perdamaian. Adalah suatu permusyawaratan diantara para ahli waris dimana akan ditentukan siapakah yang berhak dan wajib memperoleh bagian lebih ataupun sama dari lainnya. Biasanya digunakan dalam pembagian warisan rumah, perabot, benda pusaka, dan ternak (agar dicapai suatu keadaan sejahtera bagi semua anggota keluarga batih).
2. Cara sepikul segendong. Dipergunakan pada pembagian warisan tanah pekaranangan dengan pohon-pohon diatasnya sekalian, dan tanah pertanian terutam sawah. Menurut cara ini ditetapkan anak laki-laki mendapat bagian sebanyak 2/3, sedangkan anak perempuan 1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua. Untuk memperkuat hak dan kewajiban terhadap peninggalan harta benda milik orang tua ini masing-masing yang berkentingan bisa meminta penyaksian kepala desa atau anggota-anggota pamong desa lainnya. Terlebih pembagian warisan tanah pekarangan dan pertanian, keluarga wajib melapor kepada pejabat-pejebat desa guna menentukan pembayaran pajaknya.

Tanah-tanah pertanian yang bisa diwariskan adalah sawah sanggan, yaitu sawaah milik pribadi. Menurut macamnya ada tiga, yaitu sawah gantungan, dunungan, dan garapan.
Suatu hal yang harus dibedakan adalah harta benda milik suami istri sendiri sebelum kawin (banda gawan), dengan harta kekayaan yang diperoleh mereka selama mereka bersama (banda gana gini). Kedua-duanya kelak menjadi barang warisan. Di dalam pembagiannya bisa menurut cara hukum adat yang berlaku (sepikul segendongan), atau mengikuti cara perdamaian, dimana semua pihak baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian sama banyaknya. Sebagai barang warisan, banda gawan kembali ke kerabat masing-masing apabila suami istri tidak memiliki anak, sedang banda gana gini yang baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua suami istri bercerai, yaitu banda gana dibagikan kepada suami dan banda gini untuk istri.

SIMPULAN
Sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Pada masyarakat adat terdapat larangan untuk menikah dengan saudara kandung, saudara pancer lanang, dan misan. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan tersebut diperkenankan. Perkawinan lain yang diperbolehkan yakni ngarang wulu serta wayuh. Dalam masyarakat jawa prosesi perkawinan dilakukan dengan cara nakokake, lamaran, paningsepan, asok tukon, selametan dan midodareni. Sebagai kelanjutan dari perkawinan timbul nuclear family dan ekstended family. Selain itu ada juga yang disebut kelompok kekerabatan alur waris. Pada umumnya orang jawa tidak mempersoalkan tentang tempat menetap sesudah menikah, bisa bersifat utrolokal, uxorilokal maupun neolokal.

Kamis, 07 Mei 2009

Feminisme Psikoanalisis dan gender

Feminisme Psikoanalisis Dan Gender

Berbeda dengan aliran feminisme liberal, radikal serta marxis dan sosialis, femisisme psikoanalisis dan gender percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara pokir perempuan. Berdasar konsep Freud, seperti tahapan Oedipal dan komplek Oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman masa kanak – kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki – laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik dari femininitas. Berhipotesis bahwa dalam msyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan feminitas akan dikonstruksikan secara berbeda dan dihargai secara setara, feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia seutuhna merupakan campuran sifat – sifat positif feminin dan maskulin.
Berbeda dengan feminis psikoanalisis, feminis gender cenderung berpendapat bahwa mungkin memang perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau penjelasan kultural atas maskulinitas laki- laki dan feminitas perempuan. Mereka juga menekankan bahwa nilai – nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan ( lembut, sederhana, rasa malu, sifat mendukung, empati, kepedulian, hat-hati, sifat merawat, intuisi, sensitivitas, dan tidak egois ) secara moral lebih baik dari pada kelebihan nilai – nilai tradisional yang dihubungkan dengan laki-laki ( kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, dan kendali emosi ). Karena itu feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada femininitas, dan bahwa laki-laki harus melepaskan bentuk ekstrim dari maskulinitasnya. Menurut mereka suatu etika kepedulian ( ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan ( ethics of justice ) maskulin.


Akar Feminisme Psikoanalisis: Sigmund Freud
Freud mengemukakan tentang perkembangan seksualitas manusia. Menurutnya, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual yang jelas, dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia menghadapi tahapan itu. Maskulinitas dan feminitas dengan kata lain merupakan produk dari pendewasaan seksual. Jika anak laiki-laki berkembang normal, mereka akan menjadi laki – laki yang menunjukan sifat maskulin yang diharapkan, dan jika perempuan berkembang secara normal maka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukan sifat-sifat feminin. Manusia pada masa bayi akan mengalami perkembangan seksual. Dimulai dari tahap oral ketika anak mendapatkan kepuasan melalui apa yang masuk dalam mulutnya. Berlanjut dengan tahap anal saat anak berusia dua sampai tiga tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan sensasi ketika menahan dan mengeluarkan kotoran. Menyusul kemudian tahap phallic saat anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan kepuasan dari alat kelaminnya dengan melakukan yang Freud sebut sebagai masturbasi kanak-kanak. Anak laki-laki mendapatkan kepuasan dari stimulasi pada penisnya, dan anak perempuan pada klitoris. Di sinilah asal kata tahap phallic, yang berarti phallus atau penis. (Dari pemilihan katanya, terlihat bagaimana Freud lebih berfokus pada anak laki-laki).
Pada tahap phallic, anak laki-laki mengembangkan cinta kepada ibunya. Freud menyebutnya sebagai kompleks Oedipus, diambil dari kisah Oedipus yang membunuh ayahnya untuk mendapatkan ibunya. Namun melihat klitoris yang dimiliki ibu dan anak perempuan lainnya, ia berpikir bahwa mereka telah dikastrasi oleh ayahnya. Ia menjadi takut dikastrasi sehingga mematikan cinta kepada ibunya dan beridentifikasi dengan ayahnya, dengan mengikuti aturan-aturan dan nilai-nilai yang dimiliki ayahnya.
Setelah itu adalah tahap latency, dimana anak berhenti menampilkan seksualitasnya secara terbuka. Impuls seksual itu sendiri tidak mati, hanya ditekan sementara untuk akhirnya muncul lagi pada saat pubertas. Pada masa pubertas ini, anak mulai memasuki tahap genital, yang dicirikan dengan kemunculan kembali energi seksual. Namun kali ini energi tersebut bukan lagi ditujukan untuk stimulasi diri sendiri, namun diarahkan kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda.
Dalam pandangan Freud, perkembangan laki-laki dan perempuan mulai berbeda pada tahap phallic. Kompleks Oedipus tidak dialami perempuan. Dampak dari tidak dialaminya kompleks Oedipus ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan perempuan. Sayangnya hal ini luput dalam perkuliahan psikologi. Sejumlah buku psikologi bahkan menyajikan suatu kesalahan dengan menyebutkan bahwa pada perempuan, kompleks Oedipus ini dinamakan dengan kompleks Elektra. Kompleks Elektra menceritakan bagaimana anak perempuan mencintai ayahnya dan mengambil nilai-nilai ibunya. Dengan menjadi serupa ibunya, anak perempuan meyakini akan memperoleh cinta ayahnya sama seperti ibunya. Perlu diketahui bahwa istilah kompleks Elektra ini tidak disebutkan oleh Freud, melainkan oleh para pengikutnya. Selain itu, kisah kompleks Elektra ini meskipun tidak salah, namun kurang tepat.
Menurut Freud, anak perempuan tidak mengalami ketakutan akan kastrasi sebagaimana yang dialami anak laki-laki. Ketika melihat klitorisnya, anak perempuan justru meyakini bahwa ia telah dikastrasi. Sama seperti anak laki-laki, ibu juga merupakan obyek cinta pertama bagi anak perempuan. Hal ini wajar mengingat pada tahap psikoseksual pertama, yaitu oral, baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan kepuasan dari ibunya, terutama melalui payudara ibu yang mengalirkan makanan. Namun ketika melihat klitoris, baik klitorisnya maupun klitoris ibu dan anak perempuan lain, serta membandingkan dengan penis yang dimiliki laki-laki, ia pun berasumsi bahwa ibu dan semua perempuan telah dikastrasi oleh ayahnya. Menyadari hal itu, anak perempuan justru merasa jijik terhadap ibunya, dan barulah kemudian ia mengalihkan cinta kepada ayahnya. Proses pengalihan ini sangat ditekankan oleh Freud. Menurutnya, perempuan dapat sewaktu-waktu kembali kepada obyek cinta asal tersebut. Dengan perkataan lain, perempuan memiliki kemungkinan besar untuk menjadi lesbian.
Tidak adanya ketakutan akan kastrasi pada diri perempuan juga akan membawa pengaruh signifikan dalam perkembangan superegonya. Pada laki-laki, karena ketakutannya akan dikastrasi, justru mendorongnya untuk patuh pada Hukum Ayah. Dengan tunduk pada Hukum Ayah, laki-laki justru belajar mengendalikan hasrat terhadap ibunya dan bersabar menunggu gilirannya untuk mendapatkan perempuannya sendiri kelak. Oleh karena itulah, ketakutan akan dikastrasi, justru memungkinkan anak laki-laki berkembang menjadi laki-laki dewasa yang matang. Ia mampu mengendalikan diri, memiliki moralitas, dan dapat belajar mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Menurut Freud, hal ini akan menjadi bekal bagi laki-laki untuk masuk ke dalam masyarakat, untuk aktif berorganisasi bahkan berpolitik. Sedangkan perempuan, karena tidak pernah mengalami ketakutan akan kastrasi tersebut, superegonya tidak pernah berkembang dengan sempurna. Ia menjadi manusia yang lemah, yang tidak pernah belajar patuh pada Hukum Ayah, dan akhirnya tidak dapat berpartisipasi pada ranah publik. Wilayah perempuan hanya domestik, yaitu di rumah, menjadi istri dan ibu.
Selain itu, dengan mengubah obyek cinta dari ibu kepada ayah, maka perempuan pemuasan seksualnya pun berubah dari klitoris ke vagina. Serupa dengan penis (meskipun telah dikastrasi), klitoris dalam pandangan Freud adalah seksualitas aktif. Sedangkan vagina adalah sesuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika anak perempuan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mulai mengambil nilai-nilai feminin (pasif). Pengalihan klitoris ke vagina ini dapat menjadi cikal bakal munculnya neurotisme (gangguan kejiwaan) bagi perempuan jika perempuan tidak dapat melaluinya dengan baik. Hal ini dikarenakan klitoris sulit untuk didesensitisasi. Ada kemungkinan perempuan dewasa akan kembali pada kepuasan klitoris dengan melakukan masturbasi seperti saat ia berusia 3-4 tahun di tahapan phallic. Atau perempuan juga dapat menjadi frigid, mengakhiri seksualitas karena bosan terus menekan hasrat klitoris.
Jadi menurut Freud, perempuan akan lebih mungkin menjadi neurotik dibandingkan laki-laki karena kepuasan seksualnya berubah dari klitoris ke vagina sedangkan laki-laki tetap pada penisnya. Lebih lanjut perempuan neurotik ini akan sulit sembuh meskipun diterapi. Hal ini dikarenakan superegonya tidak berkembang dengan baik, sehingga ia menjadi rigid dan tidak dapat menggunakan kesempatan untuk sembuh yang tersedia melalui terapi. Pandangan Freud yang sangat pesimis terhadap perempuan masih dapat dilihat dalam teorinya mengenai kecemburuan terhadap penis (penis envy). Kecemburuan ini muncul ketika anak perempuan melihat bahwa ia tidak memiliki penis. Kelak saat dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi sebagai pengganti penis. Menjadi ibu dan melahirkan, menurut Freud, dapat menggantikan kehilangan penis yang dialami perempuan. Apalagi jika anaknya adalah laki-laki, yang dapat dijadikan si ibu sebagai realisasi ambisinya yang telah ditekannya ketika ia harus mengalihkan kepuasan klitoris (aktif, maskulin) ke vagina (pasif, feminin).
Bahkan sekalipun penis dapat digantikan dengan bayi, kecemburuan terhadap penis itu sendiri memiliki konsekuensi jangka panjang pada perempuan. Freud menyebutnya sebagai sisa-sisa/residu dari kecemburuan terhadap penis (residual of penis envy). Residu ini muncul dalam tiga bentuk. Pertama, perempuan akan menjadi narsis, yaitu terokupasi pada diri. Ia memiliki keinginan kuat untuk dicintai, suatu keinginan yang bersifat pasif karena ia telah mengalihkan tujuan seksualnya dari klitoris aktif ke vagina yang pasif. Kedua, perempuan akan mengalami kekosongan dengan berfokus pada penampilan fisik. Penampilan fisik yang menarik dijadikannya alat untuk menutupi kekurangannya atas penis yang tidak dimilikinya. Terakhir, perempuan memiliki rasa malu yg dibesar-besarkan. Misalkan ia membutuhkan ruang tertutup untuk mengganti pakaian karena ia malu melihat tubuhnya yang telah terkastrasi.

Mencari Psikoanalisis Dalam Arah Feminis
Muncul tiga tokoh aliran feminisme psikoanalisis yang menentang determinisme biologis yang dikemukakan oleh freud, yaitu Adler, Horney dan Clara Thompson. Mereka berpendapat bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual merupakan hasil dari nilai-nilai sosial dan lingkungan, bukan karena fakta biologis yang berbeda. Asumsi mereka adalah dengan adanya pemberdayaan “diri” yakni melalui pemikiran dan tindakan yang lahir dari kaum perempuan sendiri, yang nantinya akan membuat mereka setara dengan laki-laki di masyarakat. Mereka percaya bahwa perasaan bersalah, inferioritas, serta kebencian terhadap diri sendiri bukan berasal dari faktor biologis, melainkan hasil dari interprestasi kebudayaan. Hal ini didasari dari pemikiran mereka bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan menginginkan kesempatan yang sama untuk membentuk takdirnya secara kreatif dan aktif.
Pengasuhan Ganda
Dipelopori oleh dua tokoh dari aliran feminism psikoanalisis, yakni Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow. Mereka berpendapat bahwa sub-ordinasi dan opresi terhadap perempuan berasal dari monopoli dari perempuan sendiri terhadap terhadap pengasuhan anak/mothering.
Dinnerstein menggambarkan transisi kita dari bayi ke masa dewasa sebagai proses penolakan terhadap ibu yang berlangsung perlahan dan menyakitkan, yang merendahkan perempuan. Laki-lali yang secara seksual berbeda dengan ibunya, akan melepaskan diri dari ibunya, dan menyadarinya hasrat dirinya akan kebebasan. Sedangkan sebaliknya bagi perempuan, yang secara seksual sama dengan ibunya, sama sekali tidak akan melepaskan diri dari ibunya. Dinnerstein berpendapat bahwa laki-laki mempunyai rasa kebutuhan untuk menguasai perempuan dan perempuan mempunyai kebutuhan untuk dikuasai oleh lelaki, yang pada akhirnya memunculkan pengaturan gender yang salah bentuk.
Sebaliknya Chodorow menggambarkan hubungan bayi dengan ibunya tidak berlangsung menyakitkan seperti yang digambarkan Dinnerstein, melainkan dikikis secara perlahan, tertutama pada anak perempuan. Pendekatan yang lebih halus ini, mengisyaratkan bgi Chodorow bahwa ukuran perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah seberapa terikat mereka kepada ibunya, sementara bagi Dinnerstein ukurannya adalah seberapa terpisah anak-anak dengan ibunya.
Pada intinya, perbedaan Chodorow dan Dinnerstein terletak pada perbedaan penekanan daripada substansinya. Dinnerstein memfokuskan analisisnya pada ketidak mampuan laki-laki dan perempuan untuk mengatasi rasa ketidakberdayaan di masa dewasa, sebagaimana dirasakan ketika saat masih bayi, yang hidupanya bergantung pada kehendak perempuan yang berubah-ubah yakni ibunya. Sedangkan Chodorow, menekankan pada kebutuhan di luar kesadaran laki-laki dan perempuan untuk mereproduksi pengalaman simbiosis denga ibunya pada masa mereka bayi dan menghadirkan di masa dewasa.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh Dinnerstein dan Chodorow adalah sama-sama menegaskan bahwa pengasuhan ganda adalah penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pengasuhan oleh perempuan. Atau dengan kata lain Mothering/pengasuhan oleh ibu harus diubah menjadi parenting/orang tua. Hal ini dinilai oleh mereka akan menghancurkan secara total pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan menghilangkan ranah domain dan publik bagi laki-laki dan perempuan. Atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan.
Kritik terhadap Dinnerstein, Chodorow, dan Pengasuhan Ganda
Tiga asumsi yang mendasari Kritik terhadap Dinnerstein dan Chodorow
1. Penekanan opresi terhadap perempuan lebih bersifat psikologis dari pada sosial, kedua tokoh ini melihat sistim politik,ekonomi, hukum dan kebudayaan memaksa perempuan untuk menjadi ibu, perempuan adalah ibu karena perempuan menganggap diri mereka ibu. Hal ini mengundang kritik dengan asumsi bahwa keinginan serta kebutuhan seorang perempuan untuk menjidi ibu bukan disebabkan kerena pikiran namun lebih dikarenakan kondisi sosial khusus. Contoh pendapatan laki-laki lebih tinggi dalam dunia kerja.
2. kritik terhadap Dinnerstein dan Chodorow trentang konsep keluarga.
3. Para kritikus keberatan terhadap pemecahan masalah yang ditawarkan oleh Dinnerstein dan Chodorow dengan menciptakan dan mempertahankan pengasuhan ganda.
Elshtain tokoh yang banyak menentang konsep kedua tokoh tersebut diantaranya konsep Dinnerstein tentang hubungan simbiosis yang istimewa dengan ibunya yang menghasilkan sikap peempuan yang perhatian, penyayang dan peduli yang berbeda antara anak laki-laki yang cenderung digambarkan sebagai pemburu dan pemburu, penggali harta kekayaan yang hal ini dipandang sebagai suatu masalah oleh Dinnerstein yang menganggap pengasuhan ganda jauh akan mempunayi banyak dampak positif baik bagi laki-laki mapun perempuan. Laki-laki yang merasa terpenuhi kebutuhan untuk menguasai perempuan atau menekan suara feminin dalam dirinya dengan perempuan yang merasa tanpa terancam dengan tetap mendapatkan sikap feminin karena tidak lagi terpana oleh ibu yang omnipaten. Elshtain mengganggapnya Dinnerstein gagal mempertanyakan pada dirinya sendiri apa yang akan hilang dan apa yang akan didapatkan dari sistim pengasuhan ganda..
Tokoh lainya Rossi yang mengugat konsep dari Chodorow yang mengeklaim bakwa Chodorow gagal untuk memmpertimbangkan secara serius kemungkinan bahwa yang pada akhirnya membiarkan anak laki-laki merawat bayi akan berdampak sangat buruk, psikologis dan biologi perempuan melengkapi perempuan untuk memahami kebutuhan bayinya. Rossi melihat psikologi dan biologi laki-laki tidak dipersiapkan untuk itu.
Kritik lain Janice Raymon terhadap pengasuhan ganda mencoba menerangkan akibat dari pengasuhan tersebut, jika laki-laki harus meluangkan waktu yang panjang untuk merawat bayi maka pemecahan ini akan memberikan lebih banyak lagi kekuasaan pada laki-lakibaik keuatan fisik maupun psikis dalam keluarga.dalam pandangan Raymon, bahwa perempuan melakkan sebagaian besar fungsi pengasuan bukanlah masalah yang harus di perdebatkan. Baginya masalah sebenarnya adalah bahwa perempuan melakukan fungsi sebagai ibu dengan ditempat dan dengan cara yang diinginkan laki-laki.

Menuju Reinterpretasi feminis dari kompleks Oedipus.
Juliet Mitchell lebih berkaitan dengan tokoh Freud dengan teori “ bioloigi adalah takdir “ menurut Mitchell teori ini menunjukan bagimana makhluk sosial muncul dari semata mata makhluk biologis,perkembangan psikoseksual adalah suat proses dar interretasi sosial biologi, bukan manifestasi yang tidak dapt diubah dari takdir biologis. Menurut Mitchell, analisis freud dapar diterapkan kepada perkembangan psikoseksual pada masyarakat manapun.
Ketika Mitchell sependapat dengan Freud bahwa situasi Oedipal adalah universal , ia berpendapat bahwa tanpa pelanggaran terhadap inses, masyrakat manusia adalah suatu ketidakmungkinkan. Levi-strauss sebagai dasar karya Mitchell tabu inses adalah penggerak yang , dengan melarang hubungan seksual didalam keluarga yang memaksa untuk membentuk organisasi sosial yang lebih besar yang lain, kemudian muncul pertukaran hubungan seksual antar keluarha, jika pertukaran tidak terpenuhi keluarga biologis terus memprduksi dirinya dalam bntk yang sederhana.dan masyrakat sebagaimana yang kita kenal sekarang tidak akan terbentuk.

Feminisme Gender.
Hal fundamental dari opresi terhadap kaum perempuan menurut feminisme gender berakar dari aspek tertentu dari perkembangan anak, bahwa anak laki-laki dan perempuan tumbuh dewasa dengan nilai-nilai dan kebaikan gender yang khas yang merefleksikan pentingnya keterpisahan dalam kehidupan laki-laki dan keterikatan pada kehidupan perempuan dan mengakibatkan inferioritas perempuan di bawah laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Laki-laki dan perempuan memiliki kebaikannya sendiri-sendiri. Lalu, apa yang ditawarkan dalam feminisme gender? Apakah laki-laki harus memiliki kebaikan perempuan dan sebaliknya perempuan harus memiliki kebaikan laki-laki? Ataukah keduanya harus memiliki gabungan dan kedua kebaikan laki-laki dan perempuan?

Carol Gilligan: In a different voice
Apa yang dibicarakan oleh Gilligan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan moral laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung mengembangkan gaya penalaran moral yang menekankan pada keadilan, dan perempuan memberikan penekanan pada keinginan, kebutuhan, dan kepentingan. Gilligan berusaha menolak asumsi yang memandang perkembangan moral perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Adanya asumsi yang keliru tersebut, menurut Gilligan adalah disebabkan desain yang salah yang digunakan dalam mengukur perkembangan moral, seperti desain yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg tentang enam tahapan perkembangan moral: yaitu orientasi hukuman dan kepatuhan, orientasi relativis instrumental, kesesuaian interpersonal, orientasi hukum dan tatanan, orientasi legalistik sosial-kontrak, dan orientasi prinsip etis universal. Lemahnya perempuan dalam tes dalam desain itu bukanlah berarti perempuan memiliki kekurangan dalam melakukan penalaran moral, tetapi lebih diakibatkan oleh kecacatan desain itu yang menurutnya digunakan untuk mengukur metode laki-laki dalam melakukan penalaran moral. Sehingga suara perempuan tidak terdengar.
Karena penolakannya inilah, Gilligan menawarkan standar ukuran perkembangan moral yang secara akurat mengukur perbedaan perkembangan perkembangan moral laki-laki dan perempuan dengan mempertimbangkan metode gender yang mempengaruhi proses penalaran moral.

Tiga tingkatan penalaran moral dalam studi perempuan aborsi.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai pekembangan moral Gilligan melakukan studi terhadap dua puluh sembilan perempuan hamil yang akan mengambil tindakan aborsi ataukah tidak. Gilligan menyimpulkan bahwa semua perempuan dalam penelitiannya mendekati permasalahan moral ini sebagai hubungan antarmanusia. Keputusan yang akan diambil tidak hanya berpengaruh pada si janin saja, tetapi juga pada dirinya sendiri dan orang lain yang mungkin terpengaruh. Hasil yang didapatkan dari penelitiannya menekankan bahwa setiap perempuan dalam penelitian aborsi ini bergerak dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama didasari oleh kepentingan agen moral sendiri. Tingkatan kedua didasari oleh kepentingan orang lain. Dan tingkatan ketiga menyeimbangkan kedua kepentingan itu.
Dari penelitian itu Gilligan berpendapat bahwa tipe penalaran moral perempuan tidaklah lebih buruk daripada penalaran moral laki-laki dikarenakan oleh gaya penalaran moral perempuan yang berkepedulian.
Dalam tulisannya In a Different Voice Gilligan mengisyaratkan bahwa secara ideal para pemikir moral memiliki tendensi pada etika kepedulian daripada etika keadilan. Ia mengungkapkan perhatiannya yang besar bahwa kebanyakan remaja saat ini cenderung mengkarakterisasi pada kepedulian. Itu dikarenakan karena pola budaya kita yang terlalu tinggi memberikan penilaian kepada pemikiran ilmiah, objektif, dan ilmiah. Dengan kata lain lebih menggunakan otak daripada hati. Anak-anak lebih cenderung menggunakan hati karena selain belum sampainya mereka pada pemikiran “otak” juga karena kedekatan mereka pada keluarga dan teman-temannya. Mereka tampak lebih moral dari orang dewasa. Dan perempuan memiliki kemungkinan akselerasi yang lebih untuk sampai pada tahap kedewasaan yang selalu mendahulukan orang lain tidaklah tepat dikatakan sebagai inferior, melainkan justru kedalaman moral perempuan. Gilligan merasa berhasil mempertahankan posisinya dalam argumentasi bahwa perempuan tidak lebih rendah dalam perkembangan moral.

Nel Noddings: Caring
Noddings-pun sama seperti Gilligan dalam memberikan klaim bahwa perempuan lebih banyak bergerak dalam ranah emosional daripada rasional. Bahwa kebudayaan kita lebih menguntungkan “keadilan” yang maskulin daripada “kepedulian” yang feminin. Lebih ekstem dari Gilligan, Noddings bahkan berpendapat bahwa etika kepedulian lebih baik daripada etika keadilan, tidak semata-mata berbeda.
Noddings menekankan bahwa kepedulian muncul dari kepedulian alamiah yang bahkan tidak disadari. Kita bertindak dari kepedulian yang alamiah yang mendorong kita untuk menolong orang lain karena kita mengingingkannya. Kenapa kita menginginkannya adalah karena hubungan kepedulian alamiah akan diidentifikasi sebagai kondisi yang “baik”. Setelah dewasa, seorang anak akan terbiasa dengan sikap peduli, sehingga terucap “saya harus”. Kesengajaan dari kepedulian etis menggantikan kepedulian alamiah yang spontan.

Kritik Terhadap Etika Kepedulian Gilligan dan Nodding
Gilligan menyatakan bahwasannya bukanlah makusdnya untuk membuat generalisasi berdasarkan jenis kelamin, bahwa semua dan hanya laki-laki yang menganut etika keadilan serta bahwa semua perempuan yang menganut etika kepedulian. Tetapi, bahkan jika bukanlah maksud gilligan untuk melakukan generalisasi berdasarkan jenis kelamin mengenai moralitas laki-laki dan perempuan, para kritikus mencatat bahwa contoh sastra serta data penelitiannya, mengkomunikasikan gagasan bahwa laki-laki berfokus kepada hak, klaim, tuntutan kepentingan sendiri, tugas yang ketat, kewajiban, beban, dan batasan otonomi. Sementara perempuan berfokus kepada tanggung jaawab dan pentinnya memberikan tanggapan empatis terhadap orang lain, menunjukan perhatian dalam hubungan yang dekat, serta merawat dan memberikan bantuan.
Perempuan dalam kajian aborsi gilligan datang dari beragam latar belakang etnik dan kelas sosial, berumur antara lima belas hingga tiga puluh tiga, berbeda dalam hal status dan latar belakang pendidikan. Penalaran moral laki-laki berbeda dengan penalaran perempuan. Menghubungkan perempuan dengan kepedulian adalah berarti mempromosikan pandangan bahwa perempuan secara alamiah memang peduli/perawat. Tindakan itu juga berarti mempromosikan pandangan bahwa perempuan dapat dan selalu peduli apaun resikonya bagi diri mereka sendiri.
Dalam feminity and domination, sandra lee baktry berusaha untuk menentukan apakah pengalaman pengalaman prempuan dalam memenuhi ego laki-laki dan merawat luka laki-laki, pada ahirnya melemahkan atau memberdayakan perempuan. Semakin baik seorang istri mengurus suaminya, semakin tinggi ia akan mengaggap dirinya sebagai pilar, yang tanpa pilar itu, suaminya akan menjadi tidak berdaya. Pekerjaan emosional androsentris perempuan mungkin akan lebih membahayakan perempuan dari pada menguntungkannya. Laki-laki tidak menghadiahi perempuan status yang sama, dan karena itu kepedulian perempuanterhadap laki-laki merupakan “suatu gerakan merendahkan dirikolektif yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki, dan merupakan hal yang paling menghawatirkan. Semakin emosional dukungan perempuan terhadap laki-laki, semakin perempuan akan memandang segala sesuatu sebagaimana hal itu dipandang oleh laki-laki.
Puaka mengembangkan suatu kasus yang meyakikkan atas pandangannya mengenai etika kepedulian:
1. Ia menginterpretasi ulang penalaran moral tingkat gilligan, yang berorientasi kepada diri sendiri sebagai strategi perlindungan diri dan kepentingan diri yang digunakan perempuan untuk menghindari penolakan atau dominasi.
2. Puka mereinterpretasikan penalaran moaral tingkat dua gilligan yang diarahka kepada yanglain sebagai suatu kelanjutan dari “pendekatan perbudakan konvensional”, yang secara tipikal diadopsi perempuan dalam masyarakat patrialkal.
3. Pada tingkat ini, seorang perempuan belajarbuntuk mengetahui kapan ia dapat menunjjukan kekuatannya, kepentingannya, serta komitmtnnya(dalam struktur kekuasaaan laki-laki) dan dimana sebaliknya ia tunduk (pada struktur itu).

Sepanjang masyarakat tetap ptarialkal, perempuan tidak akan mencapai suatu keseimbangan yang layak dan berterima antara dan tanggung jawab dalam kehidupan moralnya.
Hoagland berargumentasi bahwa, secara paradoks, hubungan yang tidak sejajar seringkali bertentangan dengan totalitas kepentingan yang memperdulikan dan juga diperdulikan. Hoagland mencatat bahwa dalam pandangan noddings resiprositas adalah satu-satunya yang diperlukan untuk mengentalkan hubungan kepedulian, suatu kondisi yang dapat dipenuhi oleh yang dipedulikan semata-mata dengan mengakui dia adalah fokus perhatian dari yang memperdulikan.
Menurut pengamatan claudia card, ada perbedaan besar antara reseptivitas (penerimaan) dan resiprositas (timbal balik). Ketika seorang bayi tersenyum pada ibunya, si bayi menerima tindakan memperdulikan ibunya, tetapi tidak memberikan tindakan timbal balik atas tindakan itu.
Nodding menyiratkan bahwa kewajiban dari yang diperdulikan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dari yang memperdulikan melainkan semata-mata melakukan “kepentingannya sendiri”. Hoagland berargumentasi bahwa noding juga salah ketika ia mengimplikasikan bahwa secara moral dimungkinkan bagi seorang istri yang mengalami kekerasan untuk meninggalkan suaminya yang abusif, dan bahkan membunuh suaminya sebagai pertahanan diri. Menurut hoagland, seorang istri yang mengalami kekerasan tidak semata-mata dimungkinkan secara moral untuk melepaskan diri dari hubungan destruktif; lebih dari itu, secara moral ia dituntut untuk melakukan hal itu jika hal itu memeng mungkin. Etika adalah tentang memahami kapan harus tidak peduli dan kapan harus peduli.

Oleh: malik, gponk, ardi, diyan, adam ( sos_ant crew )