Sabtu, 27 Februari 2010

Sosiologi Agama Durkheim


Definisi Agama Menurut Durkheim
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

Sifat Kudus Dari Agama
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

Moralitas Individual Modern
Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.
Sumber Acuan:

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986

Senin, 22 Februari 2010

Trikotomi Geertz yang Monumental

Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.

Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan local, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi..bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri. Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.

Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa “biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar “terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.

Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i.

Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).

Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.

Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.

Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.

Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.

Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.

Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.

Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.

Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.

Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit.

Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.

Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan:
  1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
  2. sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
  3. faktor yang mempertajam konflik:
  • konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
  • Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
  • Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
  • Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
  • Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
  • Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya “kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok tipe campuran timbul, yang bias memanikan perantara.
  • Toleransi umum yang didasrkan atas suatu relatifisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil misionisasi.
  • Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.

Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.

Penutup

Membaca laporan Geertz nampak adanya pertautan yang kuat antar setiap varian. Mungkin hal ini terkait kompleksitas individu dalam kelompok dan tidak adanya komunitas yang benar-benar terpisah yang mewakili varian itu. Ditemukan misalnya orang abangan yang santri, begitu juga santri yang priyayi dan abangan yang priyayi, juga misalnya ada dukun abangan, dukun priyayi. Kemampuannya mengungkap secara detail objek yang dikaji, di samping orisilitas temuannya menjadikan kekuatan laporan penelitian Geertz ini. Di tangan dialah teori trikotominya bermula.
(Telaah dari buku "Religion of Java" karya Cliford Geertz)

Trikotomi Geertz yang Monumental

Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.

Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi...bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri. Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.


Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa “biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar “terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.


Varian Abangan

Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di-slamet-i.

Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.

Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).


Varian Santri

Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.

Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.

Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.

Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.

Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.


Varian Priyayi

Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit.
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.


Konflik dan Integrasi

Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan:


  1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
  2. sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.


faktor yang mempertajam konflik:
  • konflik ideologis yang hakiki
  • karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
  • Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
  • Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
  • Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat


Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:

  • Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya. Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial,secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku,hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya “kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok tipe campuran timbul, yang bias memanikan perantara.
  • Toleransi umum yang didasrkan atas suatu relatifisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil misionisasi.
  • Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.


Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama.
Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri.
Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.

Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocok, saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.

Membaca laporan Geertz nampak adanya pertautan yang kuat antar setiap varian. Mungkin hal ini terkait kompleksitas individu dalam kelompok dan tidak adanya komunitas yang benar-benar terpisah yang mewakili varian itu. Ditemukan misalnya orang abangan yang santri, begitu juga santri yang priyayi dan abangan yang priyayi, juga misalnya ada dukun abangan, dukun priyayi. Kemampuannya mengungkap secara detail objek yang dikaji, di samping orisilitas temuannya menjadikan kekuatan laporan penelitian Geertz ini. Di tangan dialah teori trikotominya bermula.

Hasil Telaah dari bukunya Clifford Geertz "Religion of Java

Poros Sakral Kota Jogja

Poros Sakral Kota Jogja: Pantai Selatan - Panggung Krapyak - Kraton - Tugu - Gunung Merapi

Sejarah berdirinya Kraton Jogja yang kemudian menjadi kota Jogja, tidak digambarkan dengan bangunan monumental yang megah, melainkan poros historis "Krapyak-Keraton-Tugu". Di mana struktur kota Jogja memiliki simbol yang berdasar pada garis filosofis imajiner.
Jogja pada umumnya memiliki empat komponen utama. Bentuk seperti ini disebut caturgatra tunggal atau empat komponen dalam suatu kesatuan. Keempat komponen itu adalah kraton, masjid, alun-alun, dan pasar. Kawasan Jeron Beteng (dalam beteng) yang dikelilingi Beteng Baluwarti (beteng pagar bata) mempunyai lima pintu gerbang yang disebut plengkung. Nama-nama kampung di Jeron Beteng biasanya menunjuk pada nama abdi dalem keraton yang tinggal di situ. Banyak pusaka budaya dan pusaka alam yang berharga di sini. Umumnya warga Jogja sendiri sudah memahami makna struktur kota yang memiliki filosofis simbolis yang berdasar pada garis imajiner Gunung Merapi - Tugu - Keraton - Panggung Krapyak - Laut selatan.
Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai keterkaitan dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya. Ciri-ciri dan makna tersebut pada dasarnya melekat dalam elemen bangunan, ruang suatu bangunan, bangunan, kelompok bangunan, maupun lingkungannya. Jogja sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan, secara khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-simbolis, yaitu berdasarkan garis imajiner yang diyakini membentuk garis lurus.
Konfigurasi fisik poros sakral di dalam tata rakit kraton tersebut merupakan suatu bagian dari tata Kota Jogja. Secara historis-kultural bangunan-bangunan yang ada berorientasi pada keberadaan kraton, yaitu berada di dalam benteng dan lingkungan sekitarnya. Bangunan yang ada pun bercorak arsitektur jawa, antara lain berupa joglo, limasan, dan kampung. Penggalian pusaka Jeron Beteng dilakukan sebagai pelestarian peninggalan budaya untuk memperluas makna kraton sebagai simbol penting dari peninggalan budaya Kesultanan Jogja.
Proses interaksi sosial budaya masyarakat di dalam kota melahirkan kompleksitas produk budaya, baik budaya material (material culture) maupun budaya hidup (living culture) yang berupa pranata sosial, seni, adat-istiadat, etik, estetik, dan filosofis-religius. Wujud kompleksitas produk budaya pada satu sisi akan dijiwai dan sesuai dengan konteks, langgam, dan ikatan budayanya, di sisi lain juga memunculkan kemajemukan atau keragaman tinggalan budaya.

Aku merenung

Sedikit Merenung…….????????
Perjuangan menjadi seseorang memang sangat susah. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkannya. Itulah yang sekarang saya rasakan, ketika ingin berjuang mencapai cita-cita yang selama ini saya dambakan. Ya……memang pada awalnya begitu banyak orang yang mempertanyakan keputusan saya, keputusan memilih sosiologi. Begitu banyak orang yang meragukan saya apakah akan bisa survive dengan memilih jurusan itu, karena siapa yang tahu sosiologi, mau kemana sosiologi, masa depan apa yang kamu harapkan dari sosiologi??? Itulah mungkin yang sering saya dengarkan, terutama dari orang – orang dekat saya. Sedih rasanya medengar semua itu, bingung rasanya menjawab pertanyaan itu. Namun rasa itu dan jawaban apapun saya percaya tidak akan menghilangkan pertanyaan – pertanyaan itu.
Dalam hati hanya ku jawab “ suatu saat akan kubuktikan “. Itulah jawaban sementara yang ada dihatiku.
Namun jawaban itu tergantung pada diri saya. Apakah saya bisa membuktikannya ataukah justru saya semakin dipersalahkan karena memilih jurusan itu.
Perjuangan dan rasa ingin tahu yang saya andalkan untuk mencapai tujuan. Membaca suatu ketika menjadikan kita akan betapa dasyatnya sosiologi, betapa hebatnya sosiologi. Namun apalah arti mengagung – agungkan sosiologi ketika kita tidak mau mempelajari dan mendalaminya. Terkadang kita hanya bersembunyi dibalik ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan yang akan kita dapatkan dari sosiologi, dan saya rasa itulah yang salah. Kita jangan sampai mengagung-agungkan sosiologi ketika kita belum belajar dan mengkajinya.
Saya terkadang heran juga terhadap kawan – kawan di Sosiologi tempat saya mencari ilmu. Merekan begitu bangga dengan sbutan anak sosiologi, namun tidak banyak yang benar – benar menyukai sosiologi dalam arti mempelajari dan mengkajinya. Mereka hanya bangga akan euphoria yang ada di sosiologi.
Marilah kawan – kawanku semua, buktikan bahwa sosiologi bukan kelas dua, namun segaia suatu disiplin ilmu yang mempunyai daya tawar yang sejajar dengan keilmua lain dan hal itu bisa dibuktikan dengan kemampuan orang – orang yang mempelajarinya.
Buatlah suatu kebebasan dalam diri sebagaimana para revolusioner macam Ernesto “Che” Guevara dan perjuangan kelas Karl Marx.