Jumat, 08 Mei 2009

Sistem kekerabatan Jawa

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pulau Jawa adalah nama sebuah pulau di Indonesia. Pulau ini merupakan pulau terbanyak penduduknya, pulau terpadat penduduknya, dan pulau ketigabelas terbesar di dunia ini. Luas pulau ini 138.793,6 km2 dengan penduduk sekitar 124 juta jiwa (kepadatan 979 jiwa per km2). Penduduk Pulau Jawa sebagian besar adalah suku Jawa dan suku Sunda. Suku Sunda terutama bermukim di sisi barat Pulau Jawa, sementara suku Jawa bermukim di sebelah tengah dan timur. Di sebelah barat Pulau Jawa ada pula banyak kantong-kantong komunitas suku Jawa atau suku bangsa yang berbahasa Jawa. Sedangkan di tengah pulau Jawa ada juga ditemukan kantun-kantong komunitas suku Sunda atau suku bangsa yang berbahasa Sunda, terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Selain itu ada pula suku Madura, dan suku Bali di Jawa Timur dan suku Betawi di sebelah barat Jawa di kota Jakarta dan sekitarnya. Meskipun demikian, banyak orang mengartikan jawa adalah jawa tengah dan jawa timur yang sering disebut dengan daerah kebudayaan jawa. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan jawa ini dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem kekerabatan yana mengatur pola hubungan keluarga. Demikian juga dengan masyarakat jawa. Sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Pada masyarakat adat terdapat larangan yang berkaitan dengan urusan pernikahan. Hal tersebut dikarenakan orang jawa masih memegang teguh adat istiadat yang ada (orang jawa masih bersifat kejawen). Sehingga kekerabatan masyarakat jawa ini menarik untuk dikaji lebih dalam.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana sistem kekerabatan orang Jawa: proses perkawinan, bentuk kekerabatan, dan cara pembagian warisan dalam masyarakat Jawa?
PEMBAHASAN
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan istilah klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan satu istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah maupun ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin, yaitu paman dan bibi.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung; apabila mereka itu adalah pancer lanang yaitu anak dari dua saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas diperkenankan.
Ada macam-macam perkawinan lain yang diperbolehkan yakni:
1. Perkawinan ngarangwulu yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, merupakan perkawinan sororat.
2. Wayuh yaitu suatu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami).

Sebelum dilangsungkan perkawinan terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara. Seorang pria yang ingin kawin dengan seorang gadis, pertama-tama harus datang ke tempat kediaman orang tua si gadis untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada yang punya atau belum (legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal hal yang disebut nakokake itu dapat ditanyakan pada wali yakni anggota kerabat dekat yang dihitung menurut garis laki-laki (patrinileal), misalnya kakak laki-laki dan kakak dari ayah. Pada waktu nakokake si pria biasanya didampingi oleh wanita sendiri atau wakil orang tuanya. Sampai sekarang, terutama di desa masig ada perkawinan-perkawinan atas kehendak orang tua (perjodohan). Dalam keadaan serupa itu ada upacara nontoni, yakni si calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya. Apabila mendapat jawaban bahwa si gadis masih legan dan kehendak hati akan mempersuntingnya diterima, lalu ditetapkan kapan diadakan paningsetan. Hal ini merupakan upacara pemberian sejumlah harta dari si laki-laki kepada kerabat si gadis (orang tua atau walinya). Harta itu biasanya berupa sepasang pakaian wanita lengkap, terdiri dari sepotong kain dan kebaya yang disebut pakaian sakpengadek. Kadangkala ada yang disertai dengan sebuah cincin kawin. Dengan itu si gadis sudah terikat untuk melangsungkan perkawinan atau wis dipacangake.
Sebelum upacara paningsetan, terlebih dahulu diadakan perundingan untuk membicarakan tanggal serta bulan perkawinan. Dalam perundingan ini disebut perhitungan weton, yaitu perhitungan hari kelahiran kedua calon pengantin, berdasarkan kombinasi nama sistem perhitungan tanggal masehi dengan perhitungan tanggal sepasaran (mingguan orang jawa), merupakan suatu unsur yang amat penting.
Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin, diselenggarakan upacara asok-tukon. Upacara ini adalah suatu tanda penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada wanita secara simbolis berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak-ternak; sapi, kerbau, kuda, atau bisa juga suatu kombinasi antara berbagai harta kekayaan padi yang diserahkan kepada orang tua atau wali calon pengantin wanita, disaksikan oleh kerabat-kerabatnya. Asok-tukon juga disebut srakah atau sasrahan (tanda mas kawin).
Selain sistem perkawinan melalui cara pelamaran biasa diatas itu, di kalangan masyarakat jawa dikenal juga sistem perkawinan:
1. Magang atau ngenger, yaitu seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
2. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga priayi agung yang sudah dikumpuli terlebih dahulu.
3. Ngunggah-ngunggahi, yaitu dimana pihak kerabat si gadis justru yang melamar si jejaka.
4. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita atas kemauan kedua orang tua mereka. Pada umumnya perkawinan semacam ini banyak terjadi dalam perkawinan anak-anak atau perkawinan di masa lalu.

Sehari menjelang upacara perkawinan, pada pagi hari beberapa anggota kerabat pihak wanita berkunjung ka makam para leluhur untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selametan berkahan yang dilanjutkan dengan lek-lekan dimana para kerabat pengantin wanita serta tetangga dekat dan kenalan-kenalannya berjaga di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam menjelang hari perkawinan dinamakan malam tirakatan atau malam midadareni. Ada kepercayaan bahwa pada malam itu para bidadari turun dari kahyangan dan memberi restu pada perkawinan tersebut.
Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan diiringi oleh orang tua atau walinya berikut para handai taulannya dan juga para tetangga sedukuh maupun sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang dari anggota pamong desa yang khusus yang bertugas mengurus hal nikah, talak, dan rujuk. Setelah itu pergi ke KUA kecamatan menghadap penghulu, yakni salah satu pegawai kantor tersebut yang pekerjaannya mengawinkan orang, dengan upacara ijab qabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oleh wali dari kedua belah pihak dengan disertai penyerahan sejumlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkwinan islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita dengan memanggil penghulu. Kemudian setelah upacara berakhir dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelei yang akhirnya dipersandingkan diatas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya hal ini dapat dilakukan sesudah sepasar atau sama dengan lima hari sejak dipertemukan. Pemboyongan yang disertai upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki disebut ngunduh temanten.
Ada kalanya suatu perkawinan tidak berhasil memberikan kebahagian hidup kepada kedua orang suami istri, sehingga satu-satunya jalan yang diambil ialah bercerai (pegatan). Dalam hal ini perceraian hanya bisa dilakukan berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dan jika si istri tidak dalam keadaan hamil, dihadapan penghulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak sedangkan istri berhak memintai cerai yaitu dengan memberikan taklik. Namun kadang-kadang terjadi bahwa sekalipun istri telah meminta cerai karena suami tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, tetapi suami tetap tidak bersedia menjauhkan talaknya. Dalam keadaan seperti ini istri bisa mengadu kepada kaum, yang akan meneruskan pengaduan itu ke KUA kecamatan. Akhirnya KUA kabupaten yang akan memberikan keputusan. Pengaduan gugatan cerai dari seorang istri melalui perantara saluran instansi-insatansi agama yang resmi secara bertingkat-tingkat itu dinamakan rapak.
perceraian yang ditempauh koleh kedua suami istri untuk mengejar kebahagiaan hidup dengan cara seperti diurai diatas mengkin juga tidak membawa hasil. Padahal sesungguhnya mereka masih saling mencintai. Maka tidak jarang mereka untuk hidup rukun kembali, selama masih ada harapan bahwa kebahagiaan hidup itu dapat dicapai. Suatu perukunan kembali yang dilakukan sebelum melebihi jangka waktu 100 hari disebut rujuk, sedangkan apabila melebihinya disebut balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali. Kalau sudah mencapai talak sebanyak ini, maka untuk selanjutnya suami-istri harus bercerai selama-lamanya. Dalam hubungan ini seorang janda baru boleh bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah ia lewat masa iddahnya, yaitu suatu jangka waktu yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau sama dengan tiga kali lingkaran haid. Maksudnya ialah agar dapat diketahui bahwa wanita yang bercerai tadi benar-benar tidak dalam keadaan hamil, sebab kalau ia kawin sebelum masa iddahnya lampu maka anak yang dilahirkan itu menjadi tanggungan suami yang dahulu.
Sebagai kelanjutan dari adanya peristiwa perkawinan, timbul keluarga batih atau kulawarga. Keluarga batih dalam masyarakat jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dan proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala kulawarga disebut kepala somah. Ia bisa seorang laki-laki, tetapi juga bisa seorang wanita kalau si suami meninggal dunia. Bilamana ibu tidak ada lagi maka diangkatnya sebagai kepala somah baru dari salah seorang anak atas persetujuan yang lain. Untuk hal ini lebih diutamakan anak laki-laki tertua. Untuk kulawarga sempurna terdiri dari suami istri dan anak-anak. Sedangkan kulawarga yang terdiri kurang dari itu adalah kulawarga yang tak lengkap.
Kecuali bentuk-bentuk keluarga batih tersebut adapula bentuk keluarga luas, yakni suatu pengelompokkan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal. Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri, baik dalam anggaran belanja rumah tangga maupun dapurnya. Walaupun demikian tidak semua keluarga luas ini mempunyai tempat memasak atau pawon sendiri, sehingga ada yang bersamaan. Harus diperhatikan bahwa suatu keluarga luas tetap dikepalai oleh satu kepala somah, yaitu kepala somah yang terdahulu. Suatu keluarga luas biasa terjadi dengan adanya perkawinan antara seorang anak laki-laki ataupaun wanita yang kemudian tinggal menetap dalam rumah orang tua. Bila kepala somah meninggal dunia maka ia diganti oleh salah seorang dari keluarga yang pertama, juga kalau anggota ini tidak ada, barulah salah satu dari keluarga kedua yang mondok tadi menggantikannya atas permufakatan anggota-anggota lainnya.
Peranan seorang kepala somah disini akhirnya tampak dalam soal-soal urusan keluarga. Tentu saja usaha yang bertalian dengan hubungan keluarga, dan urusan-urusan ke dalam seperti pendidikan anak, pengaturan anggaran belanja keluarga, serta usaha mencari sumber hidup tetap berada di tangan masing-masing keluarga. Sama halnya dengan keluarga, keluarga luaspun ada yang sempurna dan tidak sempurna.
Suatu bentuk kelompok kekerabatan yang lain adalah sanak sedulur. Kelompok kekerabatan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyan sampai derajat ketiga. Biasanya kelompok ini saling bantu-membentu kalau ada peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan keluarga. Di dalaml kenyatannya kelompok kekerabatan kindred ini di masing-masing orang jawa di desa hanya terdiri dari mereka yang tinggal di desa, seperti saudara sepupu, paman-paman, bibi-bibi baik dari ipar ayah maupun ibu dan kerabat-kerabat dekat istrinya.
Dalam suatu sistem kekerabatan juga dikenal suatu bentuk kelompok kekerabatan yang disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Adapun tugas terpenting dari anggota alurwaris adalah memelihara makam leluhur. Biasanya salah seorang dari anggota alurwaris yang tinggal di desa dimana terletak makam leluhur, ditunjuk untuk menghubungi anggota alurwaris lain yang telah tersebar kemana-mana guna bersama-sama ikut merawat atau menyumbang untuk perawatan makam nenek moyan itu.
Pada umumnya orang jawa tidak mempersoalkan tentang tempat menetap seorang sesudah ia kawin, sehingga seseorang itu bebas untuk menentukan dimana ia harus tinggal, apakah ia hendak menetap di sekitar tempat kediaman kerabat sendiri atau kerabat istrinya, ataukah di tempat tinggalnya yang baru terpidah dari kerabat kedua belah pihak.
Setiap orang tua dari suatu keluarga batihtentu berkehhendak memelihara kelangsungan hak, kewajiban serta harta bendanya dengan meneruskan dan mewariskan hak-hak tersebut pada anak-anak sendiri. Adapun harta benda yang diwariskan antara lain berupa rumah, perabot, benda pusaka, ternak, tanah pekarangan, pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, dan tanah pertanian. \
Dalam pembagian warisan harta besnda peninggalan orang tua tersebut dipakai dua cara, yaitu:
1. Cara perdamaian. Adalah suatu permusyawaratan diantara para ahli waris dimana akan ditentukan siapakah yang berhak dan wajib memperoleh bagian lebih ataupun sama dari lainnya. Biasanya digunakan dalam pembagian warisan rumah, perabot, benda pusaka, dan ternak (agar dicapai suatu keadaan sejahtera bagi semua anggota keluarga batih).
2. Cara sepikul segendong. Dipergunakan pada pembagian warisan tanah pekaranangan dengan pohon-pohon diatasnya sekalian, dan tanah pertanian terutam sawah. Menurut cara ini ditetapkan anak laki-laki mendapat bagian sebanyak 2/3, sedangkan anak perempuan 1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua. Untuk memperkuat hak dan kewajiban terhadap peninggalan harta benda milik orang tua ini masing-masing yang berkentingan bisa meminta penyaksian kepala desa atau anggota-anggota pamong desa lainnya. Terlebih pembagian warisan tanah pekarangan dan pertanian, keluarga wajib melapor kepada pejabat-pejebat desa guna menentukan pembayaran pajaknya.

Tanah-tanah pertanian yang bisa diwariskan adalah sawah sanggan, yaitu sawaah milik pribadi. Menurut macamnya ada tiga, yaitu sawah gantungan, dunungan, dan garapan.
Suatu hal yang harus dibedakan adalah harta benda milik suami istri sendiri sebelum kawin (banda gawan), dengan harta kekayaan yang diperoleh mereka selama mereka bersama (banda gana gini). Kedua-duanya kelak menjadi barang warisan. Di dalam pembagiannya bisa menurut cara hukum adat yang berlaku (sepikul segendongan), atau mengikuti cara perdamaian, dimana semua pihak baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian sama banyaknya. Sebagai barang warisan, banda gawan kembali ke kerabat masing-masing apabila suami istri tidak memiliki anak, sedang banda gana gini yang baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua suami istri bercerai, yaitu banda gana dibagikan kepada suami dan banda gini untuk istri.

SIMPULAN
Sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Pada masyarakat adat terdapat larangan untuk menikah dengan saudara kandung, saudara pancer lanang, dan misan. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan tersebut diperkenankan. Perkawinan lain yang diperbolehkan yakni ngarang wulu serta wayuh. Dalam masyarakat jawa prosesi perkawinan dilakukan dengan cara nakokake, lamaran, paningsepan, asok tukon, selametan dan midodareni. Sebagai kelanjutan dari perkawinan timbul nuclear family dan ekstended family. Selain itu ada juga yang disebut kelompok kekerabatan alur waris. Pada umumnya orang jawa tidak mempersoalkan tentang tempat menetap sesudah menikah, bisa bersifat utrolokal, uxorilokal maupun neolokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beceloteh di sini!!!