Jumat, 08 Mei 2009

REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mengintip jendela budaya Jawa, ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun. Di dalamnya, tanpa disadari banyak filosofi yang termaktub di dalam budaya Jawa, diantaranya seperti falsafah hidup orang Jawa. Orang Jawa menitikberatkan kepada pola pikir, karena pola pikir di dalam orang Jawa itu senada dengan falsafah hidup. Dalam pandangan Mulder (1986;48) cara berpikir orang Jawa merupakan suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas.
Dalam pandangan Jawa, Pria atau Laki-Laki berarti terhormat atau terpuji di dalam tradisipun pria dianggap lebih terhormat. Hal ini terbukti, kepala keluarga di Jawa adalah Bapak yang berarti menjadi “penguasa” dalam rumah tangga, ini berdampak kepada kepercayaan anak yang lebih besar terhadap Bapak ketimbang pada Ibu, apa yang dikatakan Bapak biasanya sangat ditakuti oleh Anak, dan Ibu. Hal ini yang perlu direkonstruksikan di dalam falsafah hidup orang Jawa. Agar nantinya dapat menjadikan pengetahuan untuk meminimalisir kesenjangan terhadap perempuan khususnya pada masyarakat Jawa (Endraswara, 2006 : 53).
Falsafah hidup di dalam orang Jawa penting untuk dikaji, karena falsafah bagi orang Jawa sebagai dasar dari pola pikir dan tombak kebudayaan yang disadari atau tidak sudah membudaya di dalam masyarakat Jawa sendiri. Selain itu, pelabelan akan peran secara tidak langsung memberikan dampak terhadap kesenjangan gender pada kaum perempuan di Jawa. Disisi lain falsafah Jawa dijadikan tendensi yang dapat melahirkan suatu dogma di dalam masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut maka kemudian dipilih permasalahan dalam rangka penyusunan makalah dengan judul “REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan disajikan beberapa rumusan masalah yang didasarkan dari latar belakang di atas yaitu :
1. Bagaimana konsep gender dalam falsafah hidup orang jawa ?
2. Bagaimana rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang jawa ?

C. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan :
1. Bagaimana konsep gender dalam falsafah hidup orang jawa
2. Bagaimana rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang jawa











BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP GENDER
Wacana gender mulai banyak dibicarakan pada awal tahun 1977. Ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu – isu lama seperti patriarchal atau sexist tetapi menggantinya dengan wacana gender (Sumiarni, 2004:1). Sejak lima belas tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan kata setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pembangunan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah selalu diperbincangkan masalah gender. Selalu kita masih terkaget-kaget manakala setiap pembicaraan tentang gender selalu membicarakan sosok perempuan dan laki-laki yang ini sama artinya mendekonstruksi tatanan atau konstruksi sosial yang sudah mapan (Marhaeni, 2007).
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks. Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996).
Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir, sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri yang berbeda-beda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta kelenjar air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih, 1997 dalam Muthali’in, 2001: 21).
Gender secara terminologis digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich, dalam Muthali’in, 2001: 21). Yang dimaksud dengan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut “merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo, manut, tlaten, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya, ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut, keibuan sementara ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa, tanpa harus bertukar jenis kelamin.
Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dan tempat satu ke tempat yang lain, dan waktu ke waktu dan masyarakat yang berbeda. Jadi, semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan tempat ke tempat lainnya. itulah yang dikenal dengan konsep gender. Oleh karenannya, selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, namanya bukan kodrat, tetapi konstruksi gender (Marhaeni, 2007).





B. KONSEP GENDER DALAM FALSAFAH ORANG JAWA
1. Pengertian Falsafah Jawa
Falsafah Jawa merupakan suatu pola pikir yang dijadikan pedoman hidup orang Jawa dalam mengembangkan gagasan untuk menjalani kehidupannya di lingkungan masyarakat. Yakni suatu keyakinan yang dihayati sebagai nilai yang memotivasi kehidupan orang Jawa. Pola pikir orang Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan dari pada sistematisasi rasional logisnya. Dalam pandangan Mulder (1986:48) cara berpikir orang jawa merupakan suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas. Olah pikir dan asah budi orang jawa senantiasa mendambakan keselamatan dan kesejahteraan (memayu-hayuning-bawana).
Manifestasi dari pola berpikir ini tampak pada pandangan hidup orang Jawa. Pola pikir akan melahirkan falsafah hidup atau lebih dikenal dengan pandangan hidup orang jawa. Sehingga hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pengalaman batin yang dianut orang Jawa dan membentuk suatu pemahaman hidup. Manakala pemahaman ini ditinggalkan, seakan-akan ada hal yang kurang lengkap dalam hidupnya.
Falsafah hidup orang Jawa, diperoleh secara turun-temurun dari leluhur mereka. Hal tersebut telah ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anak semenjak mereka kecil. Pandangan hidup orang Jawa ini, sangat kuat melekat dalam diri mereka sehingga akan sangat sulit untuk lepas dari pola pikir mereka meskipun perubahan zaman atau era globalisasi telah di depan mata. Masyarakat Jawa akan senantiasa menjunjung tinggi falsafah hidup mereka meskipun terkadang hampir tergerus oleh arus westernisasi. Apabila ada masyarakat Jawa yang telah mengesampingkan falsafah hidupnya, hal tersebut tentunya tidaklah dilakukan oleh masyarakat generasi tua yang benar-benar memegang teguh pedoman hidup ini (Endraswara, 2006 : 45).
2. Konsep Gender dalam Falsafah Orang Jawa
a. Laki-laki Jawa
Dalam falsafah orang Jawa, pria disebut juga laki-laki. Laki-laki berasal dari kata laki yang berarti terhormat atau terpuji. Laki-laki Jawa dikatakan memiliki sifat yang egois. Dalam menghadapi perempuan, laki-laki Jawa selalu ingin menang sendiri dan merasa lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan Jawa. Dalam tradisi kehidupan orang Jawa, laki-laki dipandang lebih terhormat. Laki-laki selalu berada di depan, hal ini terbukti kepala keluarga di Jawa adalah seorang bapak (laki- laki). Di Jawa tradisi patrilimonial masih sangat terasa, sehingga seorang bapak menjadi “penguasa” rumah tangga.
Kepercayaan anak kepada bapak pun amat berbeda dibandingkan dengan ibu. Anak lebih takut dan menurut nasehat seorang bapak. Apa yang dikatakan bapak, biasanya diikuti oleh anak dan ibu. Sehingga hal tersebut menjadikan seorang laki-laki menjadi bersifat otoriter karena berbau kratonik. Budaya kratonik menghendaki anak-anak harus sungkem kepada pinisepuh terutama kepada bapak. Dalam keadaan demikian, bapak menjadi sumber yang dianggap paling kuat dalam keluarga. Keluarga selalu mengundang bapak untuk kenduren, sebagai kepala rumah tangga.
Perbedaan laki-laki dan perempuan Jawa semakin dapat terlihat jelas ketika orang Jawa melakukan hukum waris. Dalam tradisi jawa, dikenal budaya sapikul sagendhongan, bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki dalam hukum waris mendapat sapikul dan wanita sagendhongan. Hal ini menggambarkan sikap orang Jawa yang meninggikan laki-laki dibanding perempuan. Laki-laki harus selalu mendapat bagian “lebih” dalam segala hal. Dalam budaya Jawa, laki-laki selalu dianalogikan sebagai orang yang sakti. Terkadang pula laki-laki Jawa menepuk dada dengan mengasumsikan dirinya sebagai lelananging jagad (pria Arjuna).
Laki-laki dianggap sebagai figur yang hebat, sakti, dan istimewa dibandingkan dengan perempuan. Jika perempuan lebih mengedepankan rasa, sedangkan laki-laki lebih mengedepankan pikiran (cipta) dan kemauannya. Itulah sebabnya laki-laki Jawa selalu berasumsi bahwa dirinya jangkahe dawa (langkahnya panjang) dan lebar, sedangkan perempuan Jawa dianggap kerubetan pinjung (terhimpit kain) sehingga jangkahnya (langkahnya) sempit. Hal ini diasumsikan dari pakaian yang dikenakan laki-laki dan perempuan Jawa tempo dulu. Itulah sebabnya laki-laki Jawa juga memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki bertugas melaksanakan lima-A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir dan batin), angomahi (membuat rumah sebagai tempat berteduh), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi (menjaga kondisi keluarga aman, tenteram, bebas dari gangguan), dan yang terakhir adalah angamatjani (mampu menurunkan benih unggul).
Dalam mengenakan pakaian adat jawa pun tampak sekali adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memakai udheng (iket). Berarti bahwa laki-laki dipandang lebih mudeng (paham) tentang hidup. Artinya pemikiran laki-laki lebih pintar dalam mengatasi segala persoalan hidup. Sebaliknya seorang perempuan mengenakan gelung dari kata gulung, rambut yang diikat berbentuk bulatan. Hal ini menggambarkan bahwa pemikiran seorang wanita yang selalu berputar-putar (Endraswara, 2006 : 55).

b. Perempuan Jawa
Kata wanita berasal dari tembung camboran, khususnya jarwadhosok dari kata wani ing tata. Artinya seorang wanita jawa harus dapat mengatur segala sesuatu yang dihadapinya, khususnya didalam rumah tangga. Lebih lanjut kata wanita akan diganti perempuan. Seorang Perempuan Jawa yang baik dalam pandangan hidup orang Jawa harus dapat memahami makna Ma – telu yaitu masak (memasak), macak (berhias), manak (menghasilkan keturunan). Pandangan ini mengasumsikan bahwa perempuan Jawa hanya bergerak dalam bidang dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (tempat tidur).
Pandangan demikian telah mengantarkan perempuan pada posisi ”terhormat” dihadapan laki-laki. Perempuan akan dianggap setia jika dapat memenuhi hal tersebut. Dikalangan pangeran atau priyayi, perempuan dianggap sebagai objek laki-laki atau pemuas seks. Menurut perspektif budaya Jawa, perempuan lebih bersikap rila, nrima, dan sabar. Sikap hidup rila, berarti ikhlas menyerahkan bagian hidupnya kepada suami. Sikap nrima, berarti merasa puas dengan kewajiban dan nasib sebagai pendamping suami. Sikap sabar, berarti sangat hati-hati dalam bertindak demi kebahagiaan suami.
Sikap hidup demikian ada karena anggapan bahwa perempuan diciptakan dari iga wekasan, sebelah kiri tulang rusuk yang terakhir laki-laki. Secara filosofi Jawa penciptaan ini memiliki arti tiga hal yaitu (1) wanita itu memiliki fitrah, untuk menjadi pendamping berada di sebelah kiri laki-laki (suaminya), (2) wanita memang semestinya diayomi (karena tulang rusuk tepatnya terletak di bawah ketiak), (3) wanita itu pada prinsipnya “lemah” seperti tulang rusuk yang membengkong dan elastis (Endraswara, 2006 : 56).

C. REKONSTRUKSI GENDER DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA
Dari uraian tentang konsep gender dalam falsafah hidup orang Jawa dapat dilihat adanya suatu kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan jawa. Dimana kesenjangan gender tersebut menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Hal tersebut dapat terlihat pada pembagian peran yang telah terkonstruksi dan mengakar pada pandangan hidup orang Jawa. Sebagaimana halnya laki-laki Jawa selalu diidentikan dengan seorang yang dianggap kuat, egois, dan lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan. Begitu pula sebaliknya perempuan Jawa hanya diidentikan dengan sosok seseorang yang lemah, menerima, dan hanya berkecimpung pada urusan domestik.
Menyalahkan laki-laki Jawa sebagai sebab adanya ketidaksetaraan gender sepertinya kurang adil, demikian juga menyalahkan perempuan Jawa yang terlalu nrimo terhadap dominasi laki-laki juga kurang bijaksana. Karena sikap dan perilaku demikian sesungguhnya sebagian besar dibentuk oleh lingkungan dan budaya masyarakat. Seperti kita ketahui bersama hampir disemua wilayah di negara kita lingkungan dan budaya masyarakat menempatkan laki-laki lebih “superior” di bandingkan dengan perempuan. Begitu pula dalam falsafah jawa yang menempatkan perempuan dalam posisi selalu di bawah kaum laki-laki. Bahkan apabila seorang suami yang mengijinkan istrinya bekerja untuk membantu mencari nafkah, kewajiban di atas (dapur, sumur, kasur) tetap menjadi urusan istri (perempuan). Hal itu menjadikan seorang perempuan memiliki peran ganda. Jika hal tersebut dilanggar ada anggapan masyarakat Jawa bahwa laki-laki tersebut dikelompokkan dalam golongan lelaki takut istri, anggapan ini terbentuk dari lingkungan dan budaya masyarakat.
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah sejajar, ada pula tugas dan kewajiban yang merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri, seperti memasak, mencuci, merawat anak, dan sebagainya. Ada juga urusan yang berkaitan dengan “kodrat” perempuan, seperti melahirkan dan menyusui anak. Karena hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Adanya konsep gender dalam masyarakat Jawa selalu disamakan dengan kodrat. Seperti contoh : seorang anak perempuan yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak. Oleh orang tuanya dianggap menyalahi kodrat. Sehingga masyarakat Jawa belum dapat membedakan antara kodrat dan konsep gender.
Pengetahuan masyarakat Jawa tentang gender sangatlah kurang, bahkan kebanyakan tidak tahu apa itu gender. Sehingga ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai “pemberontakan” perempuan oleh kaum laki-laki. Merubah konstruksi gender dalam masyarakat Jawa bukanlah hal yang mudah karena hal tersebut merupakan hasil lingkungan budaya yang sudah menjadi sikap dan perilaku yang menetap dalam lingkungan masyarakat.
Dibutuhkan program aksi yang bukan hanya sekedar terorientasi pada pengetahuan saja, karena secara teoritis pengetahuan tidak banyak sumbangan efektifnya terhadap sikap dan perilaku, apa lagi sikap dan perilaku tersebut sudah menetap dalam jangka waktu yang lama dan bahkan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran. Adanya rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa sangatlah penting untuk disosialisasikan dengan cara memberi suatu pengertian dan pemahaman tentang konsep gender. Sehingga hal tersebut diharapkan menciptakan adanya suatu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan Jawa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.











BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman gender pada masyarakat Jawa saat ini masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan pedoman hidup atau falsafah hidup orang Jawa yang telah tertanam kuat pada pikiran dan mengakar dalam semua aspek kehidupan. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang kuat atas konsep gender yang sesungguhnya dalam masyarakat. Peran serta anggota masyrakat dalam hal ini sangatlah diperlukan. Bukan tidak mungkin rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa akan sangat sulit terjadi manakala seluruh masyarakat tidak bekerja sama dengan baik satu sama lain.
Untuk mendapatkan keadilan gender dalam masyarakat Jawa maka diperlukan suatu rekonstruksi gender dalam pemahaman atau falsafah hidup orang Jawa itu sendiri. Hal tersebut dapat dimulai dengan menanamkan pemahaman gender pada anak-anak dalam keluarga karena dari keluargalah semua proses sosialisasi dimulai. Agar mendapatkan keseimbangan antara konsep gender dengan falsafah hidup yang dianut orang Jawa maka harus ditilik benar-benar mana yang menjadi kewajiban dan mana yang menjadi hak seorang perempuan dalam keluarga atau rumah tangga. Bukan hanya itu saja, kewajiban dan hak laki-laki dalam keluarga pun harus ditinjau lebih lanjut. Barulah setelah itu diperoleh rasa saling pengertian dan menghormati antara kaum laki-laki dan perempuan dalam aspek domestik maupun publik.

B. SARAN
Saran yang dapat kami sajikan atas fenomena gender dalam falsafah hidup orang Jawa di atas diantaranya :
1. Bagi kaum perempuan yang telah memahami konsep gender dan kesetaraan gender dalam masyarakat hendaknya juga menyadari kodrat perempuan dalam kehidupan rumah tangga mereka.
2. Untuk kaum laki-laki diharapkan dapat memahami dan ikut berpartisipasi dalam pembagian kerja dalam kehidupan berumah tangga, apabila istri sedang bekerja maka suami hendaknya bertoleransi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
3. Perlunya sosialisasi yang efektif tentang rekonstruksi gender dalam falsafah hidup orang Jawa melalui seminar-seminar maupun dialog-dialog dalam masyarakat terutama pada generasi muda.













DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Astuti,Tri Marhaeni P. 2007. Antropologi Gender. Semarang : UNNES Press
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Cakrawala
Fakih, Mansyur. 2006. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Fakih, Mansyur. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Illich, Ivan. 2002. Matinya Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sumiarni, Endang. 2004. Gender dan Feminisme. Yogyakarta : Wonderful Publishing
Company
Susanto, Budi dkk (ed). 1992. Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta : Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beceloteh di sini!!!