Jumat, 08 Mei 2009

Novel ayat - ayat cinta ( Analisis Sosiologi Gender )

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir, sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri yang berbeda-beda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih, 1997 dalam Muthali’in, 2001: 21).
Gender secara terminologis digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich, dalam Muthali’in, 2001: 21). Yang dimaksud dengan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut “merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo, manut, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya, ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan sementara ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa, tanpa harus bertukar jenis kelamin.
Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dari tempat satu ke tempat yang lain, dan waktu ke waktu dan masyarakat yang berbeda. Jadi, semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan tempat ke tempat lainnya itulah yang dikenal dengan konsep gender. Oleh karenannya, selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, namanya bukan kodrat, tetapi konstruksi gender (Marhaeni, 2007).
Adanya konstruksi gender yang melekat dalam masyarakat tersebut, tidak sedikit mengakibatkan ketidakadilan gender dalam masyarakat khususnya perempuan. Salah satu ketidakadilan gender adalah perempuan selalu menjadi subordinat dibandingkan laki – laki, baik dalam politik, ekonomi, sosial, ataupun budaya. Seringkali perempuan menjadi korban kekerasan baik dalam rumah tangga ataupun di dalam dunia luar. Tidak hanya tergambar dalam dunia nyata seorang perempuan selalu mengalami ketidakadilan gender, tetapi dalam dunia sastra yang tertuang dalam sebuah novel (fiksi atau non fiksi) penulis juga sering menggambarkan perempuan adalah sosok yang selalu berada dalam ketidakberdayaan karena dianggap lemah dan tidak punya kekuataan untuk melawan.
Novel fenomenal ”Ayat – Ayat Cinta” karangan Habiburrahman El Shirazy merupakan salah satu novel yang isi cerita di dalamnya terdapat adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Hal tersebut tergambar dalam beberapa penggalan paragraf yang menampakkan betapa menderitanya seorang perempuan karena di siksa lahir dan batin oleh keluarganya. Novel bernuansa Islami ini mampu membuat para penggemarnya terkesima dengan alur cerita di dalamnya. Dengan adanya latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul ”Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Teori Feminisme Radikal dan Multikultural”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana analisis novel Ayat – Ayat Cinta dalam kajian teori feminisme radikal dan multikultural ?
BAB II
PEMBAHASAN


A. HASIL PENELITIAN
1. Hasil Penelitian dalam Novel Ayat – Ayat Cinta
Berikut ini adalah kutipan beberapa paragraf yang terdapat dalam novel ayat – ayat cinta tentang ketidakadilan gender terhadap perempuan, yaitu sebagai berikut :
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba – tiba kami mendengar suara orang ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh dan melihat ke bawah. Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu menjerit dan menangis, sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan. ”Jika kau tidak mau mendengar kata – kata kami, jangan sekali – kali kau injak rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya (73).

Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya didalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu dengan nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan kejadian yang kerap berulang kali. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan – bulanan kekasaran ayahnya dan kedua kakaknya. Entah kenapa ibunya. Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat. Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya (74).

”Dia benar – benar anak pelacur sial! Dia benar – benar anak setan! Anak tak tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah – rajah mukanya biar tahu rasa!” (123).

Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Night Club mengapung di atas sungai Nil. Mona dan kakak sulungnya bekerja di sana. Sedangkan Suzan katanya bekerja di sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik – bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri (134).

Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu. Memasak, mencuci, mengepel, semua menjadi tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan oleh ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar. Itupun karena sekolah di sana gratis. Dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya (135).

Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir, ketika ayahnya memaksanya ikut bekerja di Night Club seperti Mona. Ayahnya bahkan dapat tawaran dari bosnya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat Noura. Pada waktu ayahnya bercerita pada bosnya kalau Noura saat TK pernah menang lomba menari. Melihat kecantikan Noura bos ayahnya melihat peluang bisnis. Noura laku untuk dijual. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya itu (135).

Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat setelah maghrib. Ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak, ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali – kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura – pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di kamar tidak mau keluar dan tidak mau membukakan pintu (135).

2. Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Gender

Berdasarkan pada kutipan – kutipan teks tersebut diketahui bahwa terdapat adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Noura seringkali mendapatkan perlakuan kasar oleh keluarganya baik oleh ayah, ibu, ataupun kedua kakaknya. Noura adalah gadis belia yang cantik dan juga sholehah, akan tetapi nasibnya tidak secantik wajahnya. Seringkali Noura disiksa oleh ayahnya Bahadur, dengan alasan yang tidak jelas. Noura mengalami kekerasan fisik berupa diseret, ditendang dan dicambuk berkali – kali. Selain kekerasan fisik Noura juga mengalami kekerasan psikologis. Secara psikologis Noura sangat tertekan dan ketakutan dengan berbagai tindak kekerasan dan siksaan yang dilakukan oleh keluarganya, salah satunya adalah kata – kata kasar yang sering keluar dari mulut ayah, ibu, dan kedua kakaknya tersebut.
Sampai suatu ketika puncak dari kemarahan itu, Bahadur memaksa Noura untuk menjadi penari perut di sebuah Night Club. Jelas saja gadis berjilbab itu menolaknya. Karena Noura tidak mau, Bahadur murka dan kembali menyiksa Noura dengan kejam tanpa belas kasih sedikitpun. Kekerasan dan kata – kata kasar kembali keluar dari mulut lelaki berkulit hitam tersebut.
Realitas kehidupan sosial yang selalu menampakkan kekerasan terhadap perempuan, seolah – olah telah terkonstruksi secara sosial bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak mampu melawan apabila disakiti baik lahir maupun batin. Bahkan dalam beberapa karya sastra seperti dalam novel ayat – ayat cinta tersebut, seorang perempuan dijadikan sebagai pihak yang selalu tertekan dan tertindas demi mendapatkan sebuah keuntungan materi. Noura akan dijual sepuluh ribu pound demi menuruti keinginan dari keluarganya, karena hal tersebut dianggap sangat menguntungkan mereka.
Di sini sangat terlihat jelas bahwa perempuan selalu dijadikan objek untuk diperlakukan secara sewenang – wenang. Anehnya lagi perempuan pun terkadang lebih memilih mengalah dan membiarkan dirinya tersakiti dari pada melawan siksaan semua itu. Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis. Adanya konstruksi gender yang selalu mensubordinatkan perempuan dan akhirnya menjadi pihak yang termarginalkan mengakibatkan dirinya menjadi seseorang yang tidak berdaya yang akhirnya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya dia terima yaitu kekerasan ataupun penyiksaan.

B. Analisis Novel Ayat – Ayat Cinta dalam Kajian Teori Feminisme
1. Feminisme Radikal
Dalam analisis novel ayat – ayat cinta ini peneliti hanya membatasi untuk menganalisis terhadap ketidakadilan gender yang di alami oleh Noura dalam cerita novel tersebut. Dalam feminis radikal – libertarian Gayle Rubin, sistem seks atau gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk mentransformasi seksualitas biologis menjadi kegiatan manusia. Jadi misalnya masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki – laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku ”maskulin” dan ”feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki – laki dan melemahkan perempuan (Tong, 2008 : 72). Dapat terlihat opresi atau kekerasan yang terjadi terhadap Noura juga merupakan salah satu serangkain perilaku maskulin (kuat, kasar dll) yang diperankan tokoh Bahadur yang dengan sewenang – wenang memperlakukan Noura dengan kejam.
Menurut teori feminisme radikal dalam The Dialektic of Sex Shulamith Firestone mengklain bahwa patriarki merupakan subordinasi perempuan yang sistematis (Tong, 2008 : 107). Hal tersebut berakar dari ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin. Dalam novel ayat – ayat cinta, tokoh Noura selalu mendapatkan perlakuan yang kasar dari keluarganya terutama ayahnya dikarenakan perempuan selalu diklaim makhluk yang lemah seperti yang dikatakan teori feminisme radikal bahwa opresi terhadap perempuan salah satunya karena ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin yaitu laki – laki dan perempuan. Dimana ayahnya yaitu Bahadur adalah sosok laki – laki yang kuat, kejam, pemarah, dan ringan tangan. Hal tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan sosok perempuan yang selalu dianggap berada di bawah kaum laki – laki.
Dalam kebudayaan Mesir sistem kekerabatan juga menggunakan asas patriarki. Seperti yang dikemukakan pula oleh teori feminisme radikal bahwa patriarki merupakan subordinasi perempuan yang sistematis, maka dari itu kekuasaan selalu ada ditangan laki – laki. Bahadur adalah orang yang sangat berkuasa terutama dalam keluarganya. Sehingga hal apapun yang dilakukannya ia anggap bukan sesuatu hal yang salah, seperti penyiksaan yang dilakukan terhadap Noura merupakan salah satu bukti bahwa asas patriarki sering kali disalah gunakan dan akhirnya sering kali membuat seorang perempuan teropresi baik secara fisik ataupun psikologis.
2. Feminisme Multikultural
Selain analisis dengan menggunakan teori feminisme radikal, menurut peneliti novel ayat – ayat cinta juga dapat dianalisis dengan menggunakan toeri feminisme multikultural. Bahwa dalam teori multikultural didasarkan pada pandangan di dalam satu negara, Amerika Serikat misalnya semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras, dan kelas, seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, setiap perempuan di Amerika Serikat akan mengalami opresi terhadap mereka sebagai seorang perempuan Amerika secara berbeda pula (Tong, 2008:310-311). Dalam hal ini perbedaan ras kulit putih dan kulit hitam sering kali timbul berbagai masalah, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
awal dari kekerasan yang dilakukan keluarganya terhadap Noura adalah karena ia dianggap berbeda dalam kelurganya yang semuanya berkulit hitam sedangkan Noura berkulit putih. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan paragraf berikut ini :
Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil ia dikenal cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah, dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang sekolah dan menangis sejadi – jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar keseluruh kelas. Tema itu mengatakan ”tidak mungkin ibumu tidak melacur, buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ’kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu!” sejak itu Noura menjadi bulan – bulanan kedua kakaknya dan ayahnya.

Dalam kutipan di atas terlihat jelas bahwa opresi atau kekerasan yang dialami Noura berawal dari adanya perbedaan kulit putih dan kulit hitam antara Noura dan kedua kakaknya. Perbedaan tersebut membuat kedua kakaknya murka kepada Noura, karena kakaknya yang berkulit hitam sering mendapatkan hinaan dari teman – temannya di kelas. Di sini dapat terlihat bahwa perbedaan ras atau warna kulit dapat menjadi suatu permasalahan yang akhirnya berakhir dengan suatu konflik yang berkepanjangan. Madame Syima dituduh melacur karena anaknya Noura berbeda dengan kedua kakaknya yang berkulit hitam. Suaminya bahadur pun menuduhnya melacur dengan pria lain, sejak saat itu pula Bahadur membenci istrinya madame Syima.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa cerita dalam novel ayat – ayat cinta dapat dianalis dengan menggunakan teori feminisme radikal dan multikultural. Teori radikal membahas opresi terhadap perempuan terjadi karena ketidaksetaraan biologis dari kedua jenis kelamin. Hal tersebut dapat terlihat dari perlakuan yang dilakukan Bahadur terhadap Noura dengan kejam, karena secara biologis lelaki lebih memiliki kekuatan yang lebih dibanding dengan perempuan. Menurut teori multikultural opresi perempuan terjadi karena perbedaan ras, warna kulit dan sebagainya. Noura mendapatkan perlakuan kasar karena dia berbeda dengan kedua kakaknya. Noura berkulit putih sedangkan kedua kakaknya berkulit hitam, mulai dari hal tersebutlah akhirnya memunculkan sebuah konflik yang berkepanjangan sampai akhirnya Noura sering disiksa oleh keluarganya.

B. SARAN
Dengan adanya teori – teori feminisme tersebut dapat digunakan dalam menganalisis berbagai bentuk novel, ataupun fenomena lainnya yang ada dalam kehidupan masyarakat. Adanya teori tersebut juga dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan atau acuan dalam melihat berbagai opresi yang terjadi pada perempuan, sehingga tidak salah menilai dalam berbagai konsepsi yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beceloteh di sini!!!