Kamis, 07 Mei 2009

kekerasan atas nama agama

Kekerasan Atas Nama Agama


KEKERASAN yang mengatasnamakan agama kembali terjadi. Penyerbuan dan aksi 
perusakan oleh massa terhadap Kampus Al-Mubarok, Parung, Bogor, beberapa 
waktu lalu kembali meninggalkan noda. Massa menyerbu markas Jemaat Ahmadiyah 
Indonesia (JAI), suatu kelompok yang mereka nilai mengajarkan aliran sesat.
 
Banyak pihak mengecam aksi kekerasan dalam menyelesaikan masalah perbedaan 
keyakinan. Kecaman itu tidak hanya didasarkan pada pandangan umum tentang 
cinta dan perdamaian sejati, tetapi juga dari segi ajaran Islam sendiri. 
Bahkan ditinjau lebih jauh, tampilnya kekerasan dalam menyelesaikan masalah 
perbedaan keyakinan, bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
 
Jika memandang Islam dari beberapa sisi, seperti dari sisi rahman dan rahim 
(sebagai sifat Allah yang terbanyak diungkap dalam Alquran), sisi hikmah dan 
pelajaran yang baik (bil hikmah wal mau'izhah hasanah), maupun segi ajaran 
atau teologisnya, maka tindakan kekerasan terhadap JAI perlu dikritisi. 
Namun dalam konteks ini, pertanyaan besarnya adalah mengapa kekerasan atas 
nama agama terus terjadi?
 
Bagi massa yang menyerbu, penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sudah 
menjadi keharusan. Apalagi ada fatwa MUI yang menilai Ahmadiyah aliran sesat 
dan tidak diakui sebagai ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, jika seorang 
muslim kemudian menganut ajaran sesat atau keluar dari Islam, maka ia 
menjadi murtad atau bughah (pemberontak). Dalam perspektif fikih, jika tidak 
bertobat dalam tiga hari, orang murtad tadi harus dihukum bunuh atau 
diperangi.
 
Dari pemberitaan media massa terbaca, sejak awal massa telah menuntut 
kegiatan jemaat Ahmadiyah di Parung dibubarkan. Pembubaran aktivitas 
Ahmadiyah, menurut mereka, adalah tuntutan yang islami sekali. Apalagi, dari 
segi fikih klasik dan struktur masyarakat Islam sendiri, pandangan dan 
tindakan itu dinilai tidak ada salahnya.
 
Mereka melihat pemerintah tidak tegas terhadap Ahmadiyah, walaupun MUI telah 
memberi fatwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Tadinya mereka 
berharap, pemerintah membubarkan kegiatan Ahmadiyah, sebagai tindak lanjut 
fatwa MUI. Jika tidak, massa dapat mengambil tindakan sendiri.
 
Tetapi, jika ditinjau lebih dalam lagi, sesungguhnya ada kekeliruan mendasar 
dalam cara pandang mereka menghadapi realitas perbedaan keyakinan. Aksi 
kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah, selain kontroversial juga blunder. 
Walaupun atas nama menegakkan keyakinan, tindakan kekerasan itu bisa 
tergolong melanggar hukum negara.
 
Di samping itu, fatwa MUI sendiri, juga menghadapi kendala operasional. 
Apalagi, fatwa ulama tidak lagi berwibawa seperti dulu. MUI bahkan tidak 
lagi menjadi institusi sakral. Dalam pandangan publik, MUI pascareformasi 
sudah berbeda sekali, misalnya dengan MUI semasa dipimpin Buya HAMKA. Ketika 
kredibilitas ulama merosot, jangankan pemerintah yang bersifat "netral", 
individu-individu muslim saja banyak yang mengabaikan fatwa para ulama.
 
Kuatnya tuntutan supaya pemerintah tegas menindak aliran sesat, juga terasa 
tidak 'pas'. Pemerintah sendiri hanya akan bertindak di bawah koridor 
aturan-aturan formal kenegaraan, seperti UU atau instruksi presiden. 
Kalaupun, misalnya, ada instruksi tentang pemberantasan judi (yang juga 
menjadi tuntutan ajaran agama), prosesnya sangat panjang. Aparat di bawah 
bahkan kerap menunggu komando dari atasannya untuk menindak praktik maksiat.
 
Dengan demikian, selama ini sebagian anggota masyarakat melihat prosedur 
menegakkan amar makruf nahi mungkar dan menegakkan Islam secara kaffah 
sangat berbelit-belit. Mereka bahkan mendapat kesan, pemerintah tidak punya 
kemauan, sehingga diperlukan cara-cara "tegas" dari masyarakat. Problemnya, 
cara-cara tegas sering diaktualisasikan dalam bentuk kekerasan fisik. Selain 
tidak sabar, mereka juga merasa berwenang untuk menghukum.
 
Padahal, dalam konteks bernegara, tindak kekerasan atau represi oleh 
masyarakat tidak dibenarkan. Yang berhak melakukan represi (dalam 
pengertiannya yang 'netral') hanyalah negara. Masalahnya, dalam pandangan 
sebagian masyarakat, sekali lagi, logika seperti ini terasa berbelit-belit, 
sementara penyimpangan ajaran agama terus terjadi.
 
Dari perspektif ilmu pengetahuan, munculnya kekerasan sebagai solusi masalah 
sosial dan kemanusiaan, jelas menunjukkan adanya kesenjangan antara 
cita-cita (das sollen) dengan kenyataan (das sein). Kekerasan atas nama 
Tuhan, sesungguhnya juga membuktikan adanya kesenjangan antara agama 
teologis dan agama sosiologis-antropologis.
 
Meskipun demikian, kesenjangan antara das sollen dan das sein tentu suatu 
yang umum terjadi. Hegel, misalnya, menyebut hukum dialektika: 
tesis-antitesis-sintesis. Bahkan perspektif sosiologi dan antropologi agama 
berangkat dari kesadaran mencoloknya kesenjangan antara cita-cita dan 
kenyataan ini. Kedua cabang ilmu ini berkembang karena banyaknya 'keanehan' 
dalam kehidupan beragama. Perhatiannya juga tertuju pada keadaan yang 
dianggap tidak logis, tidak produktif, serta hal-hal 'aneh tapi nyata' 
lainnya, seperti kepercayaan kepada spiritual being, sakralitas, dan ragam 
ritualisme.
 
Dalam pemahaman umum sering dikatakan, agama berangkat dari keyakinan 
sedangkan ilmu dan filsafat berangkat dari keragu-raguan terhadap sesuatu. 
Tapi, dalam perkembangan terakhir, dikotomi agama-ilmu ini dipertanyakan. 
Orang bahkan telah berpikir tentang integrasi ilmu dan agama. Meskipun 
demikian, memulai sesuatu dari keyakinan juga tidak ada salahnya, asal tidak 
gampang menuding pihak lain salah atau sesat.
 
Auguste Comte (1798-1858), bapak ilmu sosiologi, membedakan kedua 
perspektif. Menurutnya, cara berpikir religius hendak menemukan jawaban yang 
absolut. Ini tentu berbeda dengan cara berpikir positif (ilmiah) yang 
menyadari kerelatifan kemampuan manusia. Orang modern tidak berpikir 
absolut. Melihat perkembangan peradaban umat manusia dewasa ini, dikotomi 
ilmu-agama, modern-religius, relatif-absolut seperti ini agaknya tidak 
relevan lagi menjawab tantangan zaman.
 
Realitas sosiologis lain menunjukkan, di mana pun agama dipegang orang 
banyak, jemaah, bahkan massa yang fanatik. Mereka melihat agama sebagai the 
ultimate concern. Setiap penganut agama meyakini bahwa agamanyalah yang 
benar. Di sinilah unsur-unsur fanatisme atas nama agama muncul.
 
Jika dicermati lagi, dalam konteks fenomena sosial, 'agama' yang dimaksud di 
sini bukan saja agama-agama resmi yang dikenal publik. Ciri fanatik terhadap 
sesuatu yang dipegang dan diyakini, tidak hanya terdapat dalam konteks agama 
(resmi), tetapi juga sekte, aliran, mazhab, bahkan kepada partai dan 
organisasi keagamaan, dan bahkan ideologi-ideologi sekuler. Makin rendah 
tingkat berpikir dan pemahaman keagamaan seseorang, makin sempit dan makin 
konkret sesuatu yang difanatikinya dalam kehidupan beragama.
 
Di samping itu, tindak kekerasan atas nama agama juga disebabkan oleh 
kecenderungan beragama hanya dari segi tertentu saja, seperti aspek hukum 
dan keyakinan, kolektivitas atau massanya saja. Segi lain, seperti 
rasionalitas, penghayatan rohaniah (tasawuf) cenderung terabaikan. Saatnya 
diperlukan beragama dengan segenap potensi diri yang dianugerahkan Tuhan. 
Wallahualam.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beceloteh di sini!!!